Articles

Internet: Jerat, Ilusi dan Kuasa | Oleh Yasmin Kartikasari (Bagian 3-selesai)

Internet, Media, Kuasa dan Politik

“Power can be bias in Internet, between powerful/ powerless are intertwine”[1]

(Tim Jordan)

Pada awal 1980-an, teknologi internet baru hadir di Indonesia untuk keperluan Universitas Indonesia (UI) saja. Pada masa itu infrastrukturnya belum mendukung sehingga internet tidak berkembang secara luas. Baru di tahun 1994, provider swasta mulai membuka jaringan dan internet mulai digunakan publik secara luas pada tahun 1995. Pada masa itu penggunaan internet belum terlalu marak karena biaya pemasangan dan kepemilikan jaringan masih mahal dan membutuhkan sambungan telepon pribadi untuk menyambung internet.[2]

Keberadaan internet ternyata mampu menjadi media alternatif bagi masyarakat untuk mencari dan menyebarkan informasi, yang pada masa itu penyebarannya masih sangat dibatasi dan diatur sepenuhnya oleh Negara. Internet seakan menjadi angin segar yang menggugah masyarakat untuk lebih berani dan proaktif. Terbukti, internet menjadi salah satu alat untuk menggulingkan Soeharto dan tatanan Orde Baru yang dibangunnya.[3] Caranya?

“Syafei developed his Jendela Indonesia site running since October 5, 1995, at the Illinois Institute of Technology, Chicago. It hosted a mailing list and news archive which originally catered to university and student matters. But from 1997 onwards it too became a much frequented portal for non-censored news, including material from Apakabar/Indonesia-L.” (Tangkar, n.d.)

“In May 1998, at the time of student occupation of the parliament building and subsequent resignment of Soeharto, frequency of visits at the Jendela Indonesia portal caused the server of the Illinois Institute of Technology to crash again and again. The head of the computer center, Michael Hites, seriously considered closing down Jendela Indonesia, but realizing that frequency of use was actually demonstrating its usefulness and finding that the Indonesian movement for democracy deserved to be supported, he decided instead to invest $35,000 to step up the server’s efficiency.” (Tangkar n.d.)[4]

Hal ini sama dengan yang tertulis pada sebuah website yang membahas keberadaan internet dan politik, sebagai berikut:

“Beberapa waktu yang lalu orang berpendapat bahwa orang yang menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang memiliki kekuasaan, tetapi sekarang pendapat tersebut sedikit berubah karena orang yang dianggap memiliki kekuasaan adalah orang yang menguasai informasi. Politik juga merupakan masalah kekuasaan, sehingga sumber informasi bisa menjadi alat politik yang efektif.”[5]

Teknologi Internet dapat dianalogikan sebagai suatu jalan raya informasi bebas hambatan, siapapun yang terkoneksi dengan jaringan, bisa mencari dan memberikan informasi mengenai apapun. Hal ini membawa dampak dalam aspek kehidupan politik. Dalam waktu singkat peristiwa demonstrasi berdarah yang terjadi di Tiananmen Square di Beijing tersebar dan dibicarakan oleh banyak orang di seluruh dunia. Hal yang sama juga terjadi pada berita penyerangan Amerika Serikat terhadap Irak yang semuanya dapat dilihat dengan jelas. Oleh sebab itu Internet dapat digunakan untuk menegakan demokrasi, karena tidak ada hal yang dapat disembunyikan dan siapapun memiliki kebebasan untuk menyatakan pendapat mereka. Tetapi sebaliknya Internet juga dapat dipakai oleh perorangan maupun kelompok untuk membentuk opini publik dengan menyebarkan informasi demi mencapai tujuan politik tertentu.

Ternyata, internet sebagai media ‘powerless’ mampu menggulingkan kekuasaan yang sangat besar (powerfull), seperti apa yang terjadi di Indonesia. Barangkali dapat dikatakan apabila seseorang diberikan suatu kuasa kecil untuk bebas, dia dapat menggunakan kuasa itu untuk mengajak orang lain berpartisipasi sehingga menjadi suatu kekuatan yang besar, seperti halnya kekuatan rakyat.

Selanjutnya, batasan antara ranah kultural dan ranah politik  di internet telah menyatu, bercampur, mengalami pembiasan, serta dapat saling mempengaruhi (lihat kasus ‘Cicak vs. Buaya’ dan ‘Koin untuk Prita’).[6] Dalam kedua kasus tersebut, informasi mengenai berita keduanya tersebar dengan cepat di internet, lalu dikomentari oleh banyak orang, sehingga membangun simpati dan emosi yang berujung pada aksi nyata yang mempengaruhi opini atas kasus keduanya.

Pengumpulan Koin Prita yang awalnya merupakan simbol simpatik masyarakat dan bentuk perlawanan akan ketidakadilan hukum atas kebebasan berpendapat, berbuah pada kesatuan suara yang mampu merubah suatu tatanan sistem yang dirasa tidak adil. Begitupun pada kasus Cicak vs. Buaya, informasi dihadirkan sebebas-bebasnya, dan membentuk suatu persepsi tertentu di masyarakat.

Dapat dikatakan bahwa Internet tidak netral. Internet dipengaruhi oleh siapa yang memiliki kuasa pada saat tertentu. Namun kekuasaan dapat bergerak melampaui hal-hal yang tidak diinginkan sehingga apapun dapat terjadi di cyberspace. Dalam konteks ini, siapapun dapat melakukan apapun, untuk membangun agenda, identitas, komunitas, atau apapun yang dia inginkan di ruang cyber.[7]

Lalu kini, setelah setiap orang di kota-kota besar, terutama sebagian besar daerah di Pulau Jawa telah mampu mengakses internet, akankah ada perubahan yang mampu dibawa internet? Toh, internet dipercaya telah mengusung semangat kebebasan, dimana kebebasan menjadi dambaan setiap manusia dalam hidup. Namun, apakah kebebasan itu dapat dimaknai dengan bijak? Saat ini internet telah mampu membebaskan informasi sehingga dapat bergerak lalu lalang dan hinggap pada siapapun yang membutuhkan, tanpa ada batasan, dan disuguhkan secara vulgar.[8] Semuanya kembali pada pribadi setiap orang. Jika moral mampu menjadi pagar, niscaya, dunia akan baik-baik saja.


[1] Jordan, Tim. Cyberpower: The Culture and Politics of Cyberspace. Diakses di: http://www.isoc.org/inet99/proceedings/3i/3i_1.htm

[2] Lim, Merlyna. (2009) Muslim Voices in the Blogosphere: Mosaics of Local-Global Discourses”in Gerard Goggin and Mark McLelland [eds.], Internationalizing Internet: Beyond Anglophone Paradigm, London: Routledge, p. 178-195. Dapat di akses di: http://www.public.asu.edu/~mlim4/files/Lim_IranIndoblog.pdf

[3] Lim, Merlyna. The Internet, Social Networks, and Reform in Indonesia. http://www.public.asu.edu/%7Emlim4/files/Lim_Ch17.pdf

[4] Mahdi, Waruno. The Internet Factor in Indonesia: Was that All?. Edisi Revisi 2004. Diakses dari: http://waruno.de/PDFs/wm_IDinetsaga.pdf

[5] Diambil dari: http://go-kerja.com/kehidupan-sosial-vs-internet/

[6] Lim, Merlyna. “[Talk] Pop ‘n Politics: Web 2.0 and Participatory Culture in Indonesia”. 2009, dibawakan pada First Annual Digital Media and Learning Conference: “Diversifying Participation” di University of California, San Diego, 19 Februari 2009. Diakses di: http://merlyna.org/?p=1192

[7] Jordan, Tim. Cyberpower: The Culture and Politics of Cyberspace. Diakses di: http://www.isoc.org/inet99/proceedings/3i/3i_1.htm

[8] Lim, Merlyna. (2009) Muslim Voices in the Blogosphere: Mosaics of Local-Global Discourses”in Gerard Goggin and Mark McLelland [eds.], Internationalizing Internet: Beyond Anglophone Paradigm, London: Routledge, p. 178-195. Dapat di akses di: http://www.public.asu.edu/~mlim4/files/Lim_IranIndoblog.pdf

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *