Articles, Program

Common Talks #3 : Tantangan Dunia Pendidikan di Era Pandemi Covid-19 (Youtube Live)

Pada hari Jumat, 4 Juni 2021, Common Room mengadakan sesi diskusi online dalam Common Talks #Vol.3 dengan topik Tantangan Dunia Pendidikan di Era Pandemi Covid-19 bersama Karin Karina (Pegiat Pendidikan), Prof. Iwan Pranoto, M.SC.,PH.D. (Guru Besar FMIPA ITB), dan Santi Indra Astuti (Jaringan Pegiat Literasi Digital). Sesi diskusi dilakukan dalam dua platform, yakni melalui link ZOOM dan YouTube Live commonroom_id, dipandu oleh Keni K. Soeriaatmadja yang aktif berkegiatan di @biya_project dan @dokumen.tari. 

Diskusi kali ini merupakan lanjutan pada diskusi dengan tema yang sama melalui obrolan IG Live pada Senin, 31 Mei 2021. Di era pandemi Covid-19, sistem Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diterapkan kepada pelajar dan mahasiswa menghadapi banyak tantangan. Tidak semua murid dan guru memiliki kemampuan digital dan perangkat komunikasi yang baik. Masih banyak terdapat kesenjangan digital berupa koneksi internet yang buruk.

Membuka sesi diskusi, Prof. Iwan Pranoto memaparkan bahwa Kemendikbud dan Kominfo membuat strategi yang salah dalam proses pembangunan, karena justru yang membutuhkan infrastruktur internet adalah orang-orang yang tinggal di daerah terpencil, bukan di daerah perkotaan saja. Bahkan sebelum berbicara tentang infrastruktur internet, banyak pula yang masih belum memiliki jaringan listrik. Menurutnya, hal ini merupakan dasar untuk mendapatkan pendidikan di era pandemi Covid-19.

Revolusi terhadap dunia pendidikan harus mulai digalakan. “Pelajar harus bisa membawa diri, adaptasi, dan bertanggung jawab terhadap proses pembelajarannya sendiri”, tambahnya. Kecakapan belajar mandiri inilah persoalan utama yang harus Kemendikbud tuntaskan. Era pandemi Covid-19 terus berlanjut hingga entah kapan. Maka dari itu pemikiran dan tindak lanjut kita harus beberapa langkah lebih maju.

Sebagai pegiat pendidikan, Karin Karina mengatakan bahwa budaya bertanya pun harus mulai diedukasi melalui program-program kepada pelajar dan mahasiswa. Ini juga merupakan hal dasar yang lumrah dimiliki setiap individu, berani mengeluarkan pendapat dengan bijak dan berani berpikir kritis merupakan suatu karakteristik yang perlu untuk dibentuk. Terlebih di era pandemi Covid-19, pembelajaran bisa diterapkan terhadap pelajar atau mahasiswa. “Namun apakah itu mendidik? Pertanyaan tersebut yang harus kita cari tahu jawabannya.” ujar Karin.

 Aktif bertanya merupakan tanda bahwa mereka sedang melakukan proses pembelajaran yang justru akan mendidik untuk dirinya sendiri. Hal lain yang jadi persoalan yakni, bagaimana mengembangkan value dalam pemakaian gadget sebagai sarana saat mendidik pelajar atau mahasiswa tersebut. Di samping itu, bagaimana melakukan pembelajaran melalui teknologi digitalisasi dan informasi tanpa harus membuat mereka bosan.

Berbicara tentang pembelajaran melalui teknologi digitalisasi dan informasi, tentu harus ditanamkan pula Literasi Digital terhadap para pelajar atau mahasiswa. “Saat ini, dunia kita didominasi oleh digital. Mau ga mau kita dipaksa harus cakap dan bijak untuk masuk ke dunia digital”, kata Santi Indra Astuti. Tapi pada kenyataannya, kita belum siap untuk masuk ke ranah tersebut. 

“Terdapat beberapa penelitian dalam hal ini. Level literasi digital Indonesia berada pada tingkat 3,61 dari skala 4. Kemkominfo memberikan level 3,41 dari skala 5. Hal ini masih dianggap moderate terlepas dari kesenjangan digital yang dialami oleh Indonesia”.

“Angka moderate itu tidak ada artinya ketika menghadapi hoaks karena indeks tersebut masih bisa diukur berdasarkan akses dan kecakapan dasar. Indonesia berada di urutan 60 dari 61 untuk tingkat minat baca masyarakatnya, bisa dibuktikan bahwa kemampuan literasi digital yang tinggi tidak mencerminkan kemampuan berpikir kritis. Problematika ini yang harus dipecahkan oleh kita”, sahut Santi Indra Astuti lagi.

“Dua hal yang sering dilupakan dalam literasi digital, yakni perihal Digital Wellbeing dan Digital Resilience. Hal ini bisa merambah ke masalah kesehatan mental dikarenakan pelajar atau mahasiswa kaget terhadap proses pembelajaran yang menggunakan digitalisasi secara terus menerus, hingga mengakibatkan stress atau depresi. Jika hal tersebut terjadi, bisa saja mereka bukan semakin cakap atau bijak dalam mengakses teknologi untuk pembelajaran, namun justru semakin menghindarinya”.

“Adapun empat pilar yang harus dilakukan agar generasi sekarang dan masa yang akan datang cakap & bijak dalam Literasi Digital, yaitu harus memiliki digital skills, digital culture, digital ethics, dan digital safety. Selanjutnya, kita harus mulai adaptasi belajar dengan cara baru. Pertama, mulai dari content creation, content curation, set playlist, dan customized learning pathways. Saat ini, proses pembelajaran bisa dilakukan kapanpun dan dimanapun”, kesimpulan Santi dari diskusi ini.

Adapun beberapa contoh pergerakan yang sudah dilakukan secara nyata oleh pelaku teknologi dan digitalisasi pada masyarakat. Salah satunya, ada Kang Dewis dari STT Garut. Kang Dewis melakukan inovasi tersendiri dengan membuat suatu program yang disebut “Lab on Bike”. Kang Dewis datang dengan menggunakan sepeda yang berisikan komputer dan device internet untuk berbagi ilmu teknologi digitalisasi kepada siswa-siswa di Sekolah Dasar. Menurut Kang Dewis, “Jaringan internet dan ilmu literasi digital adalah sebuah kebutuhan”. Pergerakan ini harus dimiliki oleh kita selaku individu yang fokus dengan dunia digitalisasi, agar dunia pendidikan di Indonesia pada era pandemi Covid-19 dapat berubah jadi lebih baik lagi. 

Itu dia berbagai Tantangan Dunia Pendidikan di Era Pandemi Covid-19 dan beberapa ide penanggulangannya. Banyak hal yang mesti kita kaji dan tuntaskan untuk dapat solusi terbaik. Lebih lengkapnya bisa ditonton pada kanal YouTube commonroom_id.

Talitha Yurdhika

 

 

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *