Articles

Mempertahankan Pertanian Adat Ciptagelar di Tengah Perubahan Iklim

Perubahan iklim memengaruhi berbagai hal dalam kehidupan manusia, termasuk di antaranya pola tanam sebagai bentuk pertahanan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar sejak abad ke-14 setia menjalankan pola tanam secara turun temurun yang terbukti mengamankan stok pangannya. 

Dosen Universitas Brawijaya, Susilo Koesdiwanggo yang menjadikan Kasepuhan Ciptagelar sebagai bahan disertasinya membuktikan ketahanan pangan itu. Catatannya sejak tahun 2012-2020, pare warga dan rurukan atau padi yang ditanam di lahan pertanian warga serta di huma jumlahnya terbilang stabil. 

Malah, ungkap Susilo, 2015, produksi pare warga pada tahun 2015 mencapai 2,1 juta pocong. Satu pocong itu antara 3-5 kilogram padi. Jumlah ini melonjak tajam dibandingkan tahun-tahun lainnya yang berkisar antara 694.429-1.041.533 pocong.

“Pada tahun 2015 itu ada El Nino ternyata produksi malah tinggi sekali Perlu penelitian lanjut (soal hubungannya) yang pasti ketika orang ramai-ramai (terdampak) El Nino, justru melonjak di sini,” ujar Susilo dalam sesi berbagi “Perubahan Iklim dan Pertanian Tradisional” pada ICT Rural Camp 2020, Rabu, 14 Oktober 2020 dari Kasepuhan Ciptagelar, Sukabumi. 

Dalam disertasinya, Susilo memandang, warga Kasepuhan Ciptagelar mengedepankan relasi ruang dan waktu terkait budaya tanamnya. 

Kegiatan menanam padi, ungkap Susilo, disesuaikan dengan waktu pelaku yang harus disesuaikan dengan wanci atau momennya. Pengetahuan soal wanci dan penentuan tempat menanam ini yang dipegang dan dipatuhi secara turun menurun. 

“Itu pengetahuan lokal dan biarkan itu jadi ilmu pengetahuan mereka yang sangat berharga,” kata Susilo. 

Dosen pasca sarjana Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Rini Soemarwoto memandang konteks perubahan iklim itu bisa diadaptasi oleh tradisi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. 

Kebiasaan menanam secara berpindah oleh masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, ungkap Rini, merupakan bentuk nyata dari adaptasi perubahan iklim. Dia menyinggung perihal kemandirian energi di Kasepuhan Ciptarasa, yang berlanjut ke Kasepuhan Ciptagelar setelah mereka memindahkan pusat pemerintahannya. “Alam terus menerus berubah,” kata Rini. 

Dia juga menyoroti kebiasaan penanaman yang berpindah sebagai bentuk konservasi yang dilakukan masyarakat adat tersebut. 

Berdasarkan data, rata-rata konsumsi beras antara 2008-2019 itu sebanyak 400 ton. Sementara cadangannya sampai 2019 mencapai 40 ribu ton. 

Rorokan pamakayaan atau juru pertanian Kasepuhan Ciptagelar, Aki Koyod menjelaskan, tidak ada yang berubah dalam proses penanaman padi di tempat tinggalnya. Masyarakat berpegang erat pada tradisi yang diwariskan secara turun menurun. 

“Selaku warga adat, tata cara menanam padi tidak semau kita. Ada proses meminta, mengambil, dan berterima kasih,” ujarnya. 

Tata cara penanaman itu ada urutan dan dilakukan setelah memasuki momennya secara adat. 

Prosesi penanaman dimulai dengan Ngaseuk yang dipimpin langsung oleh pimpinan adat Abah Ugi Sugriana Rakasiwi. 

Bersama abah, warga menuju ke huma dan melubangi tanah yang akan ditananami benih.”Setelah itu warga bisa melakukan hal sama,” ujar Aki Koyod sembari menambahkan waktunya disesuaikan dengan hari lahir pimpinan atau warga itu sendiri. 

Satu pekan selepasnya masuk ritual salamat sapangjadian atau syukuran satu pekan masa tanam benih. 

Aki Koyod menjelaskan secara umum, prosesi dilanjut dengan persemaian yang memakan waktu bisa hingga 70 hari. Selanjutnya, prosesi tandur atau penanaman di sawah yang diawali dengan sawah abah baru ke lahan warga. 

“Ada juga masa tutup nyambut atau selesai proses penanaman pada tahun ini. Ada syukuran lagi. Ada sesi salamet haraka menggunakan hasil dari huma seperti kacang, jagung, dan lainnya disatukan dengan prosesi tutup nyambut,” tutur Aki Koyod.

Nanti, sambungnya, ada salamet pare nyiram atau momen padi sudah bunting yang direspon dengan syukuran lagi hingga nanti akhirnya waktu panen. “Pertanian padi tidak boleh alat modern,” imbuh Aki Koyod. 

Soal waktu penanaman, warga adat berpegang pada kalender adat yang berakhir setiap delapan tahun. Secara sederhana, waktunya selalu mundur dari tahun ke tahun atntara 10-15 hari. 

Aki Koyod menjelaskan penetapan waktu itu disesuaikan dengan musim. Patokannya pada kemunculan rasi bintang di langit. Dia memberi contoh, saat rasi Bintang Waluku hilang maka itu momen datangnya hama. 

Ada juga istilah tanggal kerti turun wesi, kata Aki Koyod, terkait dengan posisi bintang Kerti atau The Pleiades muncul maka sudah waktunya buat petani menyiapkan perkakasnya seperti pacul dan arit. 

“Kalau semua dipatuhi, perubahan (pada hasil panen) tidak akan terasa. Kita juga menyesuaikan bibit yang akan ditanam dengan ketersediaan air,” terang Aki Koyod sembari menambahkan koleksi padi di sana mencapai setidaknya 198 jenis. 

Aki Koyod memaparkan, tata cara dan patokan masyarakat Kasepuhan Ciptagelar dalam pola tanam itu bisa saja diikuti masyarakat di tempat lain. “Namun kalau mau mengikuti harus diikuti sepenuhnya, termasuk bersyukurnya,” ujar pria yang terikat adat tidak boleh menjual hasil produksi padinya ini. 

Susilo menambahkan, setiap masyarakat di bumi Nusantara ini memiliki aturan waktunya sendiri-sendiri. “Di Ciptagelar, pertanian itu bukan mata pencaharian tapi kehidupannya,” imbuhnya. 

(Adi Marsiela)

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *