Sebagai bagian dari rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional dan upaya untuk mengatasi kesenjangan digital di Indonesia, Common Room menggelar diskusi #CommonTalks dengan pembahasan tentang “Kesenjangan Digital Berbasis Gender”. Sebelumnya telah diadakan diskusi dengan Ellen Kusuma dari Safenet melalui kanal IG Live, kali ini kita melanjutkan diskusi dengan topik yang sama bersama dua narasumber, yakni Dinita Andriani Putri (Principal Luminate) dan Tatat (INFID) pada Senin, 29 Maret 2021 melalui kanal YouTube Common Room.
Dinita memulai diskusi dengan memaparkan bahwa kesenjangan menjadi suatu tantangan untuk mencapai kesetaraan gender. “Kesenjangan merupakan amplifikasi dari dunia nyata. Karakter pola adopsi di lingkup TIK (Teknologi Informasi Komunikasi) mirip dengan karakter penyebab kesenjangan di berbagai aspek sehari-hari, “ jelas Dinita.
Tatat menjelaskan bahwa sebesar 49,7% populasi Indonesia adalah perempuan. Namun, Indonesia berada di peringkat kelima di Global Gender Gap Report. Indonesia merupakan salah satu negara yang mengalami peningkatan paling signifikan dalam bidang partisipasi dan kesempatan ekonomi di tingkat global. Berdasarkan Badan Pusat Statistik tahun 2018, rata-rata pendidikan laki lebih lama setahun dari perempuan. Hal ini merefleksikan kesenjangan gender secara umum.
Munculnya dunia digital menyebabkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan semakin besar. “Hal ini bukan hal yang baru namun baru teramplifikasi sekarang. Laki-laki 21% lebih tinggi memiliki akses terhadap teknologi daripada perempuan. Jumlah ini meningkat menjadi 52% di negara berkembang,” jelas Dinita.
Menurut Dinita, hal ini diakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengakses literasi dan kemampuan digital. Selain itu, peran tradisional perempuan dapat memperlebar kesenjangan digital. Perempuan memiliki beban domestik sehingga tidak memiliki akses lebih terhadap untuk kemampuan digital, mengakses mengakses data dan perangkat teknologi.
Dinita memaparkan bahwa teknologi merupakan ranah yang maskulin karena peran perempuan dalam pembangunan belum sebesar peran laki-laki. Meskipun sekarang sudah meningkat, namun masih tidak sebanding. Mayoritas pengguna ponsel perempuan memiliki akses 40% sementara laki-laki 60%. Data ini berdasarkan pada yang terjadi dikota besar. Angka ini bisa menjadi lebih besar di pedesaan.
“Perempuan memiliki technophobia yang lebih besar dibandingkan laki-laki. Perempuan tidak percaya diri menggunakan teknologi sehingga minat perempuan terhadap STEM (Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika ) menjadi rendah. Technophobia ini didorong oleh mitos-mitos ketidakmampuan perempuan terhadap teknologi,” jelas Tatat.
Budaya dan ideologi membentuk perempuan memprioritaskan pekerjaan domestik sehingga terdapat perbedaan pola penggunaan internet. Hal ini berhubungan dengan distribusi kekuasaan teknologi yang tidak setara dalam keluarga sehingga anak perempuan menganggap dirinya tidak cocok di bidang teknologi.
Dinita dan Tatat memaparkan hal yang sama bahwa privasi dan keamanan daring perempuan lebih rentan. Tingginya angka KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) membuat perempuan merasa tidak aman menggunakan internet, karena rentan diserang, atau mengalami kekerasan seksual secara digital. Sementara laki-laki tidak sebesar itu. Ini terjadi karena cara perempuan melindungi dirinya beda dengan laki-laki. Banyak perlindungan privasi yang sulit digunakan oleh perempuan. Banyak sekali KBGO yang tidak dilaporkan karena institusi yang melindungi pun bingung dan tidak ada perspektif terhadap korban. Salah satu contoh bias gender dalam teknologi (AI) yang terdapat dalam Google Translate. Aktivitas domestik dikaitkan dengan perempuan (she) sedangkan aktivitas publik yang maskulin dikaitkan dengan laki-laki (he).
Menurut Tatat dengan menambah jumlah pekerja perempuan di bidang STEM menjadi salah satu upaya agar teknologi lebih ramah kepada perempuan. Sehingga STEM memiliki perspektif terhadap perempuan. Peran perempuan dalam mengakses teknologi lebih kecil dibandingkan laki-laki. Mayoritas pengguna smartphone itu laki-laki yakni sebanyak 60%, sedangkan perempuan 40%. Data ini terjadi di kota besar dan bisa meningkat di daerah pedesaan. Perempuan memiliki beban domestik sehingga perempuan tidak memiliki akses lebih banyak terhadap literasi digitalisasi. Peran perempuan domestik membuat perempuan tidak memiliki kemampuan untuk mengakses data dan perangkat teknologi.
Selain itu, belum ada kebijakan yang berperspektif terhadap gender di ranah pemerintahan. Sehingga membuat peran perempuan menjadi serba sulit. Pembahasan ini sudah didiskusikan bersama Ellen pada #CommonTalk Vol.01. Tantangan lain terkait dengan kesenjangan digital adalah konten. Kemungkinan perempuan memproduksi konten daring lebih minim dari laki-laki, menjadikan ketersediaan konten terkait perempuan masih tidak banyak.
Adapun solusi untuk memperkecil peluang kesenjangan digital berbasis gender ialah perbanyak database atau bukti terkait isu ini hingga ke tingkatan RT/RW di wilayah setempat. Berguna untuk mendapatkan data sebanyak mungkin agar dapat menyusun advokasi kebijakan yang lebih baik. Juga, perkuat jaringan atau komunitas yang mengupayakan perlindungan dan pemberdayaan perempuan di ranah daring. Kerja sama dari berbagai pihak pun harus diperkuat, agar dapat meningkatkan inklusi digital.
(Talitha Yurdhika)