General

Common Talks #5 – Rethinking Digital Culture & Digital Anthropology

Pada Sabtu, 14 Agustus 2021, Common Room melaksanakan Common Talks Vol.5 bersama Sazkia Ghazi (Creative Project Manager IDEABAKERS) dan Karlina Octaviany (Digital Anthropologist) yang ditayangkan secara bersamaan melalui Zoom dan channel YouTube Commonroom_id. Berbicara tentang Rethinking Digital Culture & Digital Anthropology, perlu dimaknai terlebih dahulu bahwa pada dasarnya manusia dan kebudayaan merupakan bagian dalam antropologi itu sendiri. Seiring berjalannya waktu, teknologi atau digitalisasi masuk dan berkembang ke dalam ruang lingkup antropologi.

Dalam teorinya, antropologi digital dimaknai sebagai studi untuk menjelajahi cara dan pemahaman baru antara praktik media dan ‘ruang’ dunia media tersebut pada tiap individu, komunitas, & kehidupan sekelompok orang di dalam ruang media dengan cara atau pemahaman yang berbeda.

Manusia dan kebudayaan sebagai inti dari antropologi, akan terus termediasi. Lahirnya digitalisasi dan media baru tentu tidak terlepas dari proses mediasi manusia dan kebudayaannya, begitu pun sebaliknya. Maka dalam antropologi digital, kehadiran teknologi dan media tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang bebas nilai.

Karlina Octaviany menjelaskan bahwa antropologi digital merupakan hubungan antara manusia dan teknologi di era digital. Digital adalah kode biner. Apa pun yang berlandaskan kode biner adalah dunia digital. Antropologi digital sendiri mencakup sosialitas digital, budaya digital, budaya material digital, holisme etnografi, dan pendekatan komparatif. Antropologi digital membuat yang familiar menjadi aneh, membuat yang aneh menjadi familiar.

“Pemahaman ini tentu bisa dilakukan dalam berbagai aspek budaya, contoh aspek budaya yang nyata terkait dengan Rethinking Digital Culture & Digital Anthropology yakni implementasi beberapa program yang dilakukan Common Room kepada masyarakat adat yang mencakup digital akses berbasis internet komunitas dan literasi digital”, tambahnya. 

Karlina juga menyebutkan program-program lain yang berkaitan dengan digital akses, seperti program Lapor Covid-19 yang merupakan platform pelaporan masyarakat untuk kasus Covid-19 dan  program Sehati TeleCTG tentang platform inisiatif penguatan kesehatan ibu dan anak bekerja sama dengan bidan di tengah pandemi Covid-19.

Menurut Sazkia Ghazi, antropologi sering kali diimplementasikan dalam dunia agensi kreatif sebagai pisau bedah untuk membuat strategi kampanye di dunia digital. Yaitu untuk memetakan ide, target, riset, hingga insight yang sesuai dengan tujuan kampanye tersebut, sehingga dapat berjalan dan menyasar target secara efektif. Selain itu, antropologi digital bisa digunakan untuk menganalisis perilaku manusia di dunia digital berdasarkan generasi, sehingga dapat mengetahui pergeseran antara human interaction dan human behavior.

“Kesimpulannya, secara implementasi, antropologi digital sangat aplikatif diterapkan di dunia digital. Memanusiakan bisnis dan memanusiakan kampanye yang sedang dijalankan. Guna membuat semua aspek berjalan lebih valuable”, tambahnya.

Menelaah kembali, kedua pandangan berbeda dari Karlina Octaviany yang menitikberatkan kepada Digital Culture, sedangkan Sazkia Ghazi yang lebih menekankan kepada Digital Anthropology memang dua hal yang bisa disandingkan dan diselaraskan secara seimbang. Pada dasarnya ilmu antropologi merupakan dasar pemahaman yang bisa dipakai dalam aspek sosial (interaksi manusia), budaya, dan teknologi digitalisasi. Lebih jauh dapat menjadi dasar dalam pengaplikasian suatu program atau bisnis yang sedang dijalani. 

Menutup diskusi Sazkia Ghazi menyimpulkan bahwa antropologi penting untuk dipelajari, karena sangat aplikatif dipraktekan dalam kehidupan sekarang yang serba digital. Harus belajar menjadi orang yang open minded agar bisa menjadi antropolog yang baik, karena posisi  menjadi netral dan bisa mengaplikasikan pengetahuan di lapangan. 

“Kita tidak boleh marah dengan keadaan pandemi, justru ini saatnya kita membuktikan teori bahwa manusia adalah makhluk yang paling adaptif. Ilmu antropologi aplikatif dan diaplikasikan di zaman digital dengan tentunya beragam penyesuaian,”tambahnya.

Karlina Octaviany mengatakan bahwa pemahaman ilmu antropologi dapat  diimplementasikan pada kehidupan sehari-hari. Misalnya, diterapkan saat hendak masuk dalam komunitas digital untuk melihat apa yang bisa dipelajari dan bagaimana perilaku komunitas itu secara digital. 

“Jadikan kebiasaan kita memandang sesuatu tidak hanya take it for granted saja tapi coba dengan aplikasikan juga dengan keilmuan antropologi. Penerapannya bisa dalam kehidupan sehari-hari dan profesional juga,” jelas Karlina. 

Talitha Yurdhika

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *