Articles, Program

CommonTalks #2: Konsep Keseimbangan dari Ibu Bumi Bapak Langit

“Kalau ada kecoak jangan dikeplak pakai sandal, kalau ada tikus jangan dibunuh, semut jangan disemprot karena mereka adalah teman hidup kita dalam satu rumah.”

Sampai saat ini, banyak yang menganggap binatang-binatang seperti kecoak, tikus, semut, cicak, dan serangga lain yang datang ke rumah adalah hama. Namun tidak begitu bagi warga Kasepuhan Ciptagelar, mereka menganggap binatang-binatang tersebut adalah pendamping hidup, bagian keluarga, yang akan meramaikan rumah.

Menurut warga Kasepuhan Ciptagelar Yoyo Yogasmana, salah satu ajaran ketertiban yang dititipkan para leluhur adalah hidup berdampingan dengan makhluk selain manusia. 

“Tugas manusia adalah memberikan hak kepada yang lain. Kalau hidup bersanding artinya tidak ada bunuh-bunuhan,” katanya di acara Common Talks Volume 2.

Meskipun, binatang dan tumbuhan telah disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Tetapi, ketika manusia membutuhkan binatang dan akan melakukan proses pembunuhan, ada ketertiban yang perlu dilakukan. 

Melakukan doa dan ritual adalah proses yang harus dilakukan. Karena, ada nyawa yang kita minta untuk dikembalikan menjadi siklus kehidupan berikutnya, untuk melahirkan kehidupan berikutnya. 

Mipit amit ngala menta. Ngarah dianggo na suci, dimangan na halal,” ungkap Yoyo.

Ada cukup banyak ritual yang dilakukan oleh warga Kasepuhan Ciptagelar. Menurut Yoyo, hal itu merupakan titipan para leluhur untuk menjaga ibu sebagai bumi. 

Ibu Bumi, Bapak Langit, lanjut Yoyo merupakan konsep yang menjadi dasar keseimbangan hidup, dan harusnya disadari oleh semua orang. “Kita eksis karena karena mereka,” tambahnya.

Dengan memperlakukan bumi sebagai ibu, warga Kasepuhan Ciptagelar pun menerapkan penanaman padi setahun sekali.

Para leluhur mengajarkan untuk tidak memaksa ibu melahirkan lebih dari sekali dalam satu tahun. Pemaksaan kepada ibu akhirnya akan menggembos tenaga dengan penggunaan pupuk super, demi melahirkan kehidupan. Dalam hal ini, padi atau beras. “Kasihan jika ibu harus melahirkan lebih dari sekali,” kata Yoyo.

Selain itu, mengolah lahan pun dilakukan secara manual dan tradisional sesuai arahan dari para leluhur. Tujuannya, supaya bisa bersentuhan langsung dengan ibu tanpa jarak. Hal itu juga merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada ibu bumi. 

Ditambah dengan membaca pertanda dari bapak langit. Langit, selalu memberi pertanda tentang hak waktu bagi manusia dan ada hak waktu bagi kehidupan selain manusia lewat ilmu perbintangan yang disebut kidang atau Orion dan kerti atau the Pleiades.

Tanggal Kerti Turun Wesi, Tanggak Kidang Turun Kungkang, merupakan konsep perbintangan di Ciptagelar. Yoyo mengatakan, hal itu menjadi patokan dasar hak waktu bagi manusia ketika melihat kungkang atau walang sangit.

“Konon, kungkang ini gak punya tempat di bumi. Ketika turun kungkang, kita sebut saja bapak yang telah mengirimkan pertanda kepada kehidupan yang ada di bumi, mengingatkan waktu bagi manusia sudah selesai,” katanya.

Sementara waktu bagi kehidupan lain dimulai. Misalnya, waktu untuk berkembang biaknya serangga. Artinya, jangan menanam di saat mereka sedang berkembang biak. 

Urusan akan bentrok ketika manusia memaksa menggunakan waktu milik kehidupan yang lain, karena tidak tahu ilmunya. “Kemudian, mereka dianggap hama. Kalau sudah dianggap hama maka akan disemprot pestisida, artinya akan dibunuh,” tambahnya.

Warga Kasepuhan Ciptagelar percaya, merawat ibu bumi juga akan membawa segala kebaikan. Dengan menghormati ibu, mengurus, dan merawat ibu kita akan mendapat segalanya. Terlebih, ada surga di sana.

( Mega Dwi Anggraeni )

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *