Menyeberangi Sepuluh Dualisme (atau lebih)
Diskusi Bersama Nirwan Dewanto
Gedung Perpustakaan Pusat ITB
Rabu, 29 April 2015, pukul 14.00-16.00 WIB.
Pengantar
Saya akan melihat kebudayaan mutakhir kita sebagai permainan—atau pertarungan—aneka ragam dualisme. Adapun dualisme adalah pasangan kutub-kutub nilai maupun amalan yang tampak saling melengkapi namun sesungguhnya mustahil mencapai sintesis. Dualisme adalah risiko dari tidak terjadinya perkembangan linear dalam sejarah kebudayaan kita; misalnya saja, yang pra-modern tidak mendahului yang modern. Sebagai ganti terhadap linearitas, kita mendapatkan pasangan dua kutub—yang sama sekali bukan tesis dan antitesis; sebagai ganti terhadap sintesis, kita beroleh moderasi. Dalam kesempatan ini saya ingin bicara tentang paling sedikit sepuluh dualisme. Secara “ideal”, aneka dualisme itu membentuk pelapisan geologis (seperti “geologi sejarah” yang dibuat sejarawan Denys Lombard dalam melihat Jawa, misalnya); secara praktis (terutama bila kita terlibat di sektor “modern”), yang kita miliki adalah mélange complex, campur-aduk berbagai unit geologis (baca: unit dualisme) yang tumpang-tindih dalam umur. Bila setiap dualisme menghasilkan satu moderasi, dan bila aneka dualisme itu lapis-melapis, maka penjumlahan beberapa moderasi menghasilkan kekacauan. Setiap langkah untuk mengatur pelapisan itu selalu menghasilkan potensi mempertinggi derajat kekacauan. Sementara itu, setiap kelompok masyarakat tampaknya berlomba-lomba menjadi agen moderasi. Upaya menuju—maju—ke seberang sana mungkin terganti dengan menyelam ke dasar yang entah.