Pidato Kebudayaan Awal Tahun 2012: Katastrofe Kebudayaan
Sabtu, 7 Januari 2012
Pk. 09.00 – 16.30 WIB
Common Room
Jl. Kyai Gede Utama no. 8
Bandung – 40132
Pengantar
Kurang lebih delapan puluh tahun lalu, Sutan Takdir Alisyahbana telah sering menyampaikan kegelisahannya mengenai kebudayaan Indonesia. “Kebudayaan dalam krisis”, demikian kegelisahan STA tersebut jika kita rumuskan dalam satu frase. Polemik kebudayaan pun terjadi. Polemik ini merupakan gumpalan kegelisahan STA dan para cerdik-cendikia saat itu: kegelisahan untuk merumuskan kebudayaan khususnya dan pada umumnya peradaban bangsa Indonesia di masa depan, yang dalam istilah STA disebut sebagai manusia baru Indonesia. Untuk menuju masa depan Indonesia, “kita harus meninggalkan tasik yang tenang dan menuju laut yang bergelora, dinamik”, demikian kurang lebih STA.
Kini, 80 tahun kemudian, sebuah pertanyaan reflektif kiranya perlu dilontarkan: apakah kebudayaan dan manusia baru yang dinamis, yang bergelora seperti ombak lautan itu telah terwujud? Sebenarnya tidak mudah menjawab pertanyaan ini. Indonesia, hingga hari ini, masih tetap hidup dalam 21 abad sekaligus. Di sebuah dusun di pedalaman sebuah pulau, kita masih menemukan masyarakat yang masih hidup dalam ketertinggalan di berbagai bidang kehidupan. Mereka hidup di dalam ruang pengetahuan yang sangat terbatas. Sementara di belahan pulau lain, di kota-kota besar, sebagian masyarakat telah meloncat tinggi ke atas tangga posmodernitas, bahkan sedang bergerak ke wilayah-wilayah yang takterbayangkan oleh sebagian besar masyarakat.
Tapi, pun begitu, di lapis permukaan, secara general bisa disaksikan bagaimana kebudayaan tengah bergerak ke arah “ketakseimbangan” nilai. Pada titik tertentu, persoalan kebudayaan bahkan bisa dibilang sebagai sesuatu yang terpisah dari nilai. Kebudayaan menjadi semacam artikulasi perilaku keseharian yang digerakkan oleh isu-isu yang diusung teknologi informasi, terutama televisi dan komputer. Di situ, segala batas menjadi lebur. Jika segala batas lebur, bagaimana kita bisa merumuskan sebuah nilai?
Di samping itu, dihubungkan dengan ruang, dalam hal ini alam (nature), perkembangan kebudayaan (culture) juga memperlihatkan ketakseimbangan lain. Culture yang telah “tanpa nilai” itu secara terus-menerus tampak mensubversi alam (nature). Akibatnya, kian hari alam kian kewalahan memenuhi hasrat manusia yang digerakkan oleh imaji-imaji budaya tanpa nilai tersebut. Akibatnya, terjadilah apa yang kami sebut sebagai “Katastrofe Kebudayaan”.
Forum Studi Kebudayaan ITB (FSK-ITB) dan Common Room Networks Foundation sebagai institusi yang secara intens memperhatikan hal itu, terpanggil untuk coba mencatat, merumuskan, dan memberikan sumbangan-sumbangan pemikiran yang diharapkan dapat menjadi pencerahan bagi para intelektual dan penentu kebijakan khusunya dan masyarakat secara umum. Kali ini, konstribusi itu diwujudkan dalam bentuk pelaksanaan kegiatan orasi kebudayaan dari beberapa orang yang dianggap kompeten untuk tema terkait.
Pidato kebudayaan ini terbagi menjadi tiga sesi, yaitu:
Sesi I
Tema: Kompleksitas, Perubahan dan Spekulasi
Pemateri: Joscev Audifax, Harifa Ali Albar Siregar, Ranti Puji Agusti, Ruly Darmawan
Sesi II
Tema: Realitas diantara Persepsi, Mitos dan Fantasi
Pemateri: Idhar Resmadi, Jejen Jaelani, Kimung, Alfathri Adlin
Sesi III
Tema: Katastrofe Kebudayaan
Pemateri: Hawe Setiawan, Gustaff H. Iskandar, Yasraf Amir Piliang, Acep Iwan Saidi, dan Tisna Sanjaya.
Acara terbuka untuk umum dan tidak dipungut bayaran.
Informasi lebih detail hubungi Zamzami Almakki (085795111981)