Agenda, Campaign, Program

Peringatan Satu Tahun Insiden Sabtu Kelabu | Gedung AACC | 9 Februari 2009

aacc09

Insiden Sabtu Kelabu, Setelah Satu Tahun Berlalu
Oleh Gustaff H. Iskandar**

I

“Setiap orang memiliki hak yang sama untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan kebudayaan dan menikmati kesenian, selain turut serta dalam mengecap kemajuan dan manfaat dari ilmu pengetahuan.” (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia, pasal 27, ayat 1. Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 di Palais de Chailot – Paris, melalui resolusi 217 A (III).)

Bagi sebagian komunitas anak muda di kota Bandung, penghujung tahun 2007 dapat dikatakan merupakan sebuah momen yang melahirkan semangat yang baru. Pada bulan November 2007, Minor Books merilis buku berjudul My Self: Scumbag Beyond Life and Death yang ditulis oleh Kimung. Buku ini menceritakan sepak terjang kehidupan Ivan Scumbag yang meninggal dunia pada tahun 2006. Ia adalah salah satu pendiri sekaligus vokalis dari BurgerKill yang berasal dari daerah Ujungberung. Saat itu acara peluncuran buku diselenggarakan di Common Room dengan suasana yang sangat sederhana dan mengharukan. Seakan-akan sosok Ivan Scumbag masih hidup dan hadir di tengah-tengah semua yang hadir pada saat itu.

Pada bulan Januari 2008, Minor Books kemudian menyelenggarakan acara diskusi dan bedah buku, lengkap dengan pertunjukan musik akustik dari Burgerkill di Selasar Sunaryo Artspace. Selain dihadiri oleh sekitar 300 orang kerabat dekat Ivan, acara ini juga menghadirkan dr. Teddy Hidayat, SpKJ (Psikiater), Drs. Reiza D. Dienaputra, M.Hum (Ahli sejarah), Prof. Dr. Ignatius Bambang Sugiharto (Filsuf), Andy Fadly (Musisi) dan Kimung. Selama kurang lebih 3 jam lamanya, para peserta yang hadir diajak untuk membicarakan berbagai aspek hidup Ivan Scumbag. Secara panjang lebar Kimung bercerita mengenai perjuangan Ivan dan teman-temannya di Ujungberung dalam membangun komunitas yang selama ini memiliki akar dan kecintaan terhadap apa yang mereka tekuni secara sungguh-sungguh: musik metal.

Rangkaian kegiatan ini rupa-rupanya melahirkan gairah baru di kalangan komunitas pecinta musik metal di kota Bandung. Peluncuran buku My Self: Scumbag Beyond Life and Death seakan menandai babak baru dari perkembangan musik ekstrim di kota Bandung yang telah berkembang selama lebih dari satu dekade. Setelah Ivan Scumbag meninggal dunia, semangat untuk mengembangkan komunitas penggemar musik metal di kota Bandung tidak lantas padam. Pengaruh perkembangan komunitas musik metal di Ujungberung selama ini dapat dikatakan telah memberikan warna tersendiri di kota Bandung. Dengan segala keterbatasan yang ada, komunitas Ujungberung menjadi salah satu elemen penting yang melahirkan banyak musisi, teknisi dan operator yang menjadi garda terdepan bagi perkembangan industri musik independen di kota Bandung.

Namun selanjutnya kenyataan berbicara lain. Pada tanggal 9 Februari 2008 sebuah insiden terjadi di gedung Asia Africa Cultural Center (AACC). Saat itu ratusan anak muda penggemar musik metal kota Bandung bergerombol menghadiri konser kelompok Beside yang meluncurkan album pertama mereka yang berjudul Against Ourselves (Absolute Records/ Parapatan Rebel, 2008). Beberapa saat setelah konser selesai, kericuhan terjadi di pintu keluar. Kerumunan massa yang berdesak-desakan melahirkan sebuah bencana yang tidak pernah terbayangkan akan terjadi malam itu. 11 orang anak muda meninggal. Seketika suasana kota Bandung menjadi begitu kelam. Beberapa teman harus menginap di kantor Polisi, sementara yang lain tercerai berai tak tentu arah.

Keesokan harinya, beberapa kawan yang tergabung di dalam komunitas Solidaritas Independen Bandung (SIB) berinisiatif untuk melakukan konsolidasi di Common Room. Kebetulan pada hari itu ada kegiatan Community Gathering yang diselenggarakan oleh Bandung Creative City Forum (BCCF) di tempat yang sama. Seperti yang telah diduga sebelumnya, insiden di AACC seketika merebak menjadi persoalan yang menarik perhatian banyak orang, termasuk media massa di dalam dan luar negeri. Di tengah-tengah situasi yang menyisakan kesedihan dan ketidakjelasan, beberapa teman yang secara langsung menghadiri acara di gedung AACC berusaha untuk memberikan klarifikasi untuk menjernihkan situasi. Namun sepertinya semua orang yang hadir pada saat itu paham kalau insiden tersebut telah kadung menjadi lembaran gelap bagi pergerakan musik bawahtanah di kota Bandung.

II

Selepas peristiwa bencana yang kemudian dikenal sebagai Insiden Sabtu Kelabu, komunitas penggemar musik metal di kota Bandung kemudian menjadi korban perang opini yang secara gencar disebarkan oleh media massa. Stigma negatif yang menuding penggemar musik metal sebagai komunitas yang dekat dengan kekerasan, alkohol dan narkoba menyebabkan persoalan yang sepertinya menjadi penyebab utama dari bencana ini semakin terlupakan. Komunitas penggemar musik ekstrim semakin terpojok ketika suara mayoritas diarahkan untuk mengadili persepsi dan ekspresi artistik mereka secara sepihak. Sementara itu, banyak yang kemudian beranggapan kalau insiden ini semata-mata merupakan kesalahan yang harus ditanggung oleh penyelenggara dan para penggemar musik metal kota Bandung yang identik dengan pergerakan komunitas musik underground.

Satu minggu setelah terjadinya insiden, SIB bekerjasama dengan Rumah Cemara menyelenggarakan dialog publik di Gedung Teater Tertutup Dago Tea Huis. Acara ini digelar sebagai forum rekonsiliasi dan klarifikasi bagi peristiwa Insiden Sabtu Kelabu. Selain dihadiri oleh sekitar 700 anak muda dari berbagai komunitas di kota Bandung, acara ini juga menghadirkan I Budhyana yang saat itu menjabat Kadisbudpar Provinsi Jawa Barat, Yesmil Anwar (Kriminolog), dr. Teddy Hidayat, SpKJ (Psikiater), Tisna Sanjaya (Seniman), Kimung (Guru/ penulis) dan Addy Gembel (Musisi/ vokalis Forgotten). Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh beberapa perwakilan keluarga korban. Diantara yang hadir adalah Pak Masrion yang merupakan ayah kandung dari almarhum Ahmad Wahyu Effendi, salah satu dari 11 korban Insiden Sabtu Kelabu.

Dalam acara ini, para pembicara mengupas berbagai aspek yang terkait dengan Insiden Sabtu Kelabu serta dinamika perkembangan komunitas underground di kota Bandung. I Budhyana mengakui kalau sampai saat ini pemerintah belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menyalurkan potensi kreatifitas anak muda di kota Bandung. Terkait dengan hal ini, Yesmil Anwar mengungkapkan kalau komunitas anak muda membutuhkan ruang publik yang representatif. Sayangnya regulasi dan aturan yang mengatur semua itu tidaklah jelas. Hal ini senada dengan apa yang diuraikan oleh dr. Teddy Hidayat yang mengupas semangat anak muda dengan segala gejolak psikologisnya. Menurut dr. Teddy Hidayat anak muda senantiasa membutuhkan ruang untuk berkarya dan berekspresi. sehingga berbagai bentuk ekspresi komunitas underground sebaiknya dilihat dalam kerangka potensi kreativitas anak muda.

Lebih jauh, dalam diskusi ini Kimung mengungkapkan kalau fenomena perkembangan komunitas underground hendaknya dilihat dalam perspektif yang lebih positif. Selama ini perkembangan komunitas underground di kota Bandung telah berhasil menciptakan kesempatan ekonomi dan lapangan kerja baru di kalangan anak muda. Namun sayangnya selama ini dinamika perkembangan komunitas underground tidak diimbangi dengan proses edukasi yang memadai. Terkait dengan hal ini, Addy Gembel juga mengungkapkan kalau dinamika perkembangan komunitas anak muda di kota Bandung saat ini sudah terlalu didominasi oleh kepentingan ekonomi yang secara perlahan mengikis aspek pendidikan dan pemberdayaan yang sebelumnya kerap dilakukan oleh segenap komunitas anak muda di kota Bandung.

Menyoroti persoalan di atas, Tisna Sanjaya mengungkapkan kalau potensi kreatifitas dan kemandirian yang selama ini dimiliki oleh komunitas underground tidak boleh padam dan harus terus dapat dikembangkan. Untuk hal ini, Tisna menyatakan bahwa komunitas underground sebagai bagian dari masyarakat di kota Bandung tidak usah menunggu sampai pemerintah turun tangan dan melakukan perbaikan. Baginya, Insiden Sabtu Kelabu hendaknya dijadikan momentum untuk membangun ruang atau kantung budaya secara mandiri agar komunitas underground dapat terus menyalurkan berbagai keresahan mereka. Untuknya berbagai potensi kreatifitas dan ekspresi anak muda harus tetap dapat berkembang dan menghindari konflik yang memakan korban. Hal ini senada dengan apa yang diuraikan oleh Pak Masrion. Dalam paparannya, Pak Masrion berharap agar insiden yang terjadi tidak meredam semangat dan kreatifitas anak muda di kota Bandung untuk mengembangkan potensi mereka. Selepas diskusi, para peserta secara perlahan kemudian bergerak menuju Gedung AACC guna melakukan acara doa bersama bagi para korban Insiden Sabtu Kelabu.

III

Situasi paska Insiden Sabtu Kelabu menyisakan trauma yang mendalam di kalangan komunitas penggemar musik metal di kota Bandung. Hal ini kemudian diperkeruh oleh berbagai bentuk stigma negatif yang berkembang di masyarakat. Namun begitu, hal ini tidak mengendurkan semangat beberapa kawan yang tergabung di dalam SIB untuk melakukan konsolidasi dan menjernihkan situasi. Dengan bantuan rekan-rekan wartawan media massa, beberapa perwakilan dari SIB yang dikoordinir oleh Reggy Kayong Munggaran secara aktif melakukan advokasi dan kampanye media untuk meluruskan berbagai informasi yang memojokan komunitas underground di kota Bandung. Selain itu SIB juga secara aktif menggelar kampanye ke beberapa sekolah dan menyelenggarakan berbagai kegiatan lain sebagai upaya untuk menyebarkan informasi yang lebih berimbang terkait dengan terjadinya insiden di AACC. Dalam kesempatan ini SIB mengumandangkan kampanye “melawan lupa” untuk mengingat Insiden Sabtu Kelabu sebagai bahan pembelajaran bagi banyak pihak, khususnya komunitas underground di kota Bandung.

Sementara itu tiga orang panitia penyelenggara ditangkap dan selanjutnya divonis penjara karena didakwa melanggar pasal 359 dan pasal 360 ayat (2) jo pasal 55 ayat (1) ke-1e KUHP, yakni kelalaian yang menyebabkan meninggal dunia. Tiga orang perwira menengah dan lima anggota kepolisian dinonaktifkan dan dipindah tugas ke tempat yang berbeda. Tidak berhenti sampai di sini, pihak kepolisian kemudian menetapkan peraturan Polda Jabar No. 5, tahun 2008 yang memperketat izin penyelenggaraan konser musik. Hal ini kemudian melahirkan dampak lanjutan yang mempersempit ruang gerak para penggemar musik di kota Bandung. Beberapa pertunjukan dibatalkan dan aktifitas musisi di kota Bandung mulai dibatasi. BurgerKill, salah satu band yang berasal dari daerah Ujungberung diminta untuk membatalkan beberapa pertunjukan mereka karena alasan keamanan. Hal yang sama juga menimpa beberapa band semisal Alone at Last, Gugat, Forgotten, dsb. Salah satu peristiwa yang mengejutkan adalah dihentikannya acara Bandung Youth Park Festival yang merupakan bagian dari kegiatan Helar Fesival 2008 oleh Polisi. Akibat peristiwa ini, walau tidak ada kerusuhan selama pertunjukan berlangsung Gimmick Creative Movement selaku penyelenggara harus menanggung kerugian sebesar Rp. 345.000.000, (Majalah Rolling Stone edisi Bulan Oktober 2008).

Di bawah pengetatan izin kegiatan konser musik oleh Polisi, beberapa komunitas anak muda memilih untuk menggelar konser illegal yang diselenggarakan di beberapa kampus atau studio. Salah satunya adalah konser Uber Rebel yang diselenggarakan di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Konser ini kemudian dibubarkan oleh otoritas kampus karena dianggap tidak mengantungi izin. Sebagai buntutnya, Robi Rusdiana yang pada saat itu menjabat sebagai ketua HIMA Seni Musik di Program Studi Seni Musik Jurusan Sendratasik UPI diancam mendapatkan hukuman skorsing dan sempat diminta untuk menghentikan kegiatan perkuliahan untuk sementara waktu. Namun begitu, hal ini tidak membuat para penggemar musik metal menghentikan kegiatan mereka. Berbagai bentuk pertunjukan musik metal terus dilangsungkan dalam berbagai format. Selain itu, beberapa komunitas berinisiatif menyelenggarakan berbagai diskusi untuk mendapatkan pemahaman yang lebih reflektif atas insiden yang kadung menjadi lembaran hitam bagi perkembangan dunia musik kota Bandung di sepanjang tahun 2008.

IV

Rangkaian situasi di atas terasa begitu ironis ketika bersanding dengan kenyataan bahwa kota Bandung selama ini dikenal sebagai salah satu pusat perkembangan dunia kreatifitas di Indonesia. Pada bulan Juli 2007, Bandung dinobatkan menjadi proyek percontohan kota kreatif di wilayah Asia Timur. Hal ini tentu saja semakin membuktikan bahwa berbagai potensi kreatifitas yang dimiliki oleh kota Bandung telah mendapatkan pengakuan dari dunia internasional. Berbagai karya yang dihasilkan oleh para seniman, desainer, musisi dan para pekerja kreatif di kota Bandung selama ini memang kerap mendapatkan pengakuan dan penghargaan. Bukan hanya oleh masyarakat di kota Bandung, tetapi juga oleh mereka yang berasal dari kota atau negara lain. Sedikit dari banyak contohnya adalah seniman Tiarma D. Sirait dan Irwan Bagja Darmawan yang pernah diundang untuk berpameran di Havana Biennalle (Kuba), ataupun kelompok band The S.I.G.I.T yang pernah diundang untuk melakukan serangaian tour di beberapa kota Australia.

Selama ini berbagai bentuk potensi kreatifitas yang dimiliki oleh masyarakat di kota Bandung dapat dikatakan berkembang tanpa dukungan kebijakan dan infrastruktur yang layak. Tak jarang para pelaku dunia kreatifitas di kota Bandung harus bergerilya untuk dapat mengembangkan potensi mereka secara maksimal. Namun begitu, sampai saat ini dapat dikatakan bahwa kota Bandung telah berhutang banyak kepada berbagai potensi kreatifitas yang dimiliki oleh masyarakatnya, terlebih ketika selama beberapa waktu terakhir potensi ini telah banyak memberikan kontribusi bagi penciptaan kesempatan ekonomi dan lapangan kerja baru bagi banyak orang di kota ini. Sangat disayangkan apabila berbagai potensi yang ada selama ini belum dapat dikelola dan dikembangkan secara maksimal akibat minimnya dukungan kebijakan publik dan infrastruktur yang dapat menunjang perkembangannya secara berkelanjutan.

Terkait dengan insiden yang terjadi di Gedung AACC, dapat disimpulkan kalau insiden yang terjadi tidak semata-mata disebabkan oleh keteledoran penyelenggara. Hal ini terkait dengan kenyataan akan minimnya fasilitas publik yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas untuk menyalurkan berbagai bentuk aspirasi dan potensi kreatifitas yang mereka miliki. Sampai saat ini, meskipun dikenal sebagai salah satu pusat pergerakan kreatifitas di Indonesia, kota Bandung masih belum memiliki sarana publik yang dapat mengakomodasi berbagai bentuk potensi yang ada secara maksimal. Kalaupun ada, berbagai fasilitas yang dikembangkan umumnya hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu saja. Sementara itu, fasilitas publik yang dikelola oleh negara kebanyakan memiliki kapasitas yang terbatas dan masih dikelola secara seadanya. Dalam hal ini, tampaknya pemerintah bersama-sama dengan masyarakat masih harus berjuang untuk menegakan hak masyarakat sipil untuk ikut serta dalam berbagai kegiatan kebudayaan dan menikmati kesenian, selain turut serta dalam mengecap kemajuan dan manfaat dari ilmu pengetahuan. (Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia yang merupakan bagian dari the International Bill of Human Rights. Telah diratifikasi ke dalam hukum positif di Indonesia dan dikenal sebagai Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Hak Ekosob) dalam UU No. 11 Tahun 2005, tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), pada tanggal 28 Oktober 2005.)

** Penulis adalah seniman, bekerja untuk Common Room Networks Foundation

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *