T. Bachtiar (51 tahun), begitulah namanya sering dikenal, seorang pendatang dari Garut yang berlabuh dan mencintai Kota Bandung sepenuh hati. Kedatangannya ke Bandung pada tahun 1974 menorehkan dan menggoreskan banyak kenangan serta cerita yang membuat Beliau selalu ingin berbuat lebih bagi kotanya, seperti yang telah diberikan Kota Bandung bagi dirinya. Baginya saat ini, Kota Bandung adalah rumahnya. Selama ini, T. Bachtiar kerap dikenal sebagai anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB).
Selain menjadi peneliti, sehari-hari dia merupakan pengajar di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Nusantara (UNINUS) dan menjadi tour guide bagi siapapun yang hendak mengenal bumi Bandung dari aspek geografi maupun sejarah. Beberapa buku yang telah ditulisnya adalah Wisata Bumi Cekungan Bandung (2009) bersama Budi Brahmantyo; Geowisata Sejarah Bumi Bandung (2006) bersama Budi Brahmantyo, Dhian Damajani, Seruni Kusumawardhani; Amanat Gua Pawon (2004) bersama Budi Brahmantyo; dan Bandung Purba (2004) bersama Dewi Syafriani. Berikut wawancara Reporter Common Room, Yasmin Kartikasari dengan T. Bachtiar, pada Jumat sore yang sejuk di depan Museum Geologi Bandung.
Kenapa Anda tertarik dengan Cekungan Bandung?
Sederhananya, karena tinggal di Bandung. Saya pendatang, (dan) biasanya orang pendatang perhatiannya selalu lebih tertarik pada hal-hal baru. Jadi selalu ingin tahu tempat yang ditinggalinya.
Bagaimana keadaan Kota Bandung ketika Anda pertama kali datang ke kota ini di tahun 70-an?
Udah mulai rame sama pendatang, cuma kalau pagi masih berkabut. Jadi kalau kita bicara masih ada uapnya. Kalau sore masih banyak kalong (kelelawar). Waktu saya di Geger Kalong dulu, sekitar jam lima sore, berarak-arak kelelawar itu. Wah luar biasa. Jadi kalau sore, itu menjadi daya tarik saya dan sekarang merasa kehilangan itu. Dua hal itu yang kehilangan, kabut dan kalong.
Kondisi geografi Kota Bandung tuh seperti apa?
Bandung dikelilingi gunung. Kelebihan dan kekurangannya, kalau pagi hari dan siang hari, cuaca puncak gunung tuh panas sehingga udara dari kota naik ke atas. Kerugiannya, sekarang lereng-lereng gunung ini jadi daerah wisata, seperti Lembang. Daerah Lembang, hari Sabtu dan Minggu penuh kendaraan. Polusinya jadi tinggi.
Nah, kalau berdasarkan kondisi geografisnya, Kota Bandung cocok dijadikan lahan apa?
Pertanian dengan batasan tertentu. Jangan semua lahan, mau curam atau engga, semua ditanami kol, cesim, dan bawang. Harus ada batasan (disiplin)-lah untuk menanamnya.
Trus kalo sekarang Kota Bandungnya sendiri jadi parawisata amburadul gitu, gimana?
Ya itu karena, karena ketidaktegasan terhadap apa yang sudah pemerintah buat. Jadi mereka yang membuat konsep tata ruang, mereka sendiri yang melanggar. Sekarang, IMB hanya jadi alat pemasukan (pendapatan). Harusnya kan jadi alat kontrol. Mereka hanya tahu teori, tapi pelaksanaan nihil. Misalkan, menurut teori, air itu akan mengalir ke tempat yang lebih rendah, Tapi pemerintah tidak melaksanakannya untuk bikin parit, bikin drainase kota yang bagus, atau akses dari jalan ke parit. Dampaknya, kalo diperhatikan lima menit udah banjir. Trus sekarang karena sering banjir, lalu jalan masuk ke Factory Outlet ditinggikan biar air tidak masuk ke tokonya. Yang jadi masalah,terus airnya kemana dong, itu lah yang membuat sering banjir dan jalan rusak.
Sekarang kan lagi banyak bencana alam (banjir/ longsor) di Bandung. Apa Masalah utamanya?
Untuk sekeliling Bandung, longsor itu masalahnya bukan hujan. Hujan itu trennya menurun, grafiknya tuh kurvanya menurun, makin dikit volume air yang jatuh karena hujan di Bandung. Ini merupakan penelitian sejak 135.000 tahun yang lalu. Justru, kehancuran hutan di cekungan Bandunglah yang menyebabkan longsor di mana-mana. Jadi gini, akar pohon itu memeluk tanahnya tuh erat banget. Akar itu ngiket tanahnya kuat banget. Selain mengikat tanah, juga mengikat air. Jadi ada dua fungsi. Begitu pohon dimatikan, efeknya 3-4 tahun ke depan, akhirnya sudah mati akarnya. Jadi, tanah yang jenuh oleh air, itu bagian dari resiko yang harus ditanggung sebetulnya. Jadi longsor yang Ciwidey kemarin bukan karena perkebunannya. Tapi bukit di atas perkebunan. Bukitnya udah gundul. Jadi inti permasalahannya hutan di kita udah rusak.
Kekuatan warga apakah dapat memberikan dampak terhadap perubahan?
Oh, besar. Jadi yang membawa nama Bandung ini besar bukan pemerintahannya. Bandung itu menjadi tumbuh karena warganya. Gak ada, di tempat lain, yang warga kotanya seperti Bandung, mencintai kotanya setengah mati. Di Bandung itu melebur. Jadi, dari mana kamu berasal, hanya nama Bandung keluar, itu yang membuat nama Bandung tumbuh. Jadi kalo sudah ada yang mengatakan ’Bandung aing, kumaha aing’, itu sudah menandakan grafik yang menurun. Tapi kalo mengatakan ‘Bandung kita’ itu kemajuan, ‘Bandung urang’, itu kemajuan. Urang itu kita, Bersama.
Apa yang Anda harapkan untuk kedepannya?
Mimpi saya sekarang itu, Bandung punya Ecomuseum. Misalnya, di sebuah lereng yang ada hutan bambu, ditanam sekian ratus jenis bambu. Sehingga orang kalau mau studi tentang bambu, bisa datang ke sana. Tinggal di buat track-nya, biar rutenya bagus. Atau misalnya membuat kawasan pohon energi. Kosambi itu kan pohon energi. Buahnya tuh, minyaknya tinggi. Dan pohonnya tinggi banget, gede banget. Minyaknya untuk diesel. Jadi, seharusnya Indonesia itu ga kekurangan minyak, karena dari pohon itu bisa untuk kendaraan. Jadi ga ngebor pun, nanem aja, jadi minyak. Misalnya, nanam pohon Nyamplung, waaah..udah kaya raya buat kehidupan perorangannya. Kalau untuk bahan bakar rumah tangga, tinggal di tumbuk, nyala deh. Sesederhana itu. Biji keliki, ditusukin, dibakar, jadi lampu untuk di luar. Ya kaya gitu lah. Ga usah nunggu beli minyak tanah, ga usah. Kompornya langsung nyala. Pohon Nyamplung ada di perempatan jalan Purnawarman dengan Riau.
Sebagai warga apa yang bisa dilakukan terhadap bencana alam?
Warga pun harus mempersiapkan, secara perkeluarga, harus mempersiapkan diri bila terjadi sesuatu. Jadi misalnya gini, kalau malam-malam terjadi gempa, ada senter ga di rumahnya. Yang kedua, satu keluarga itu tahu tindakan apa yang harus dilaksanakan kalau ada gempa: matiin gas, matiin sekring, keluar rumah, terus bawa barang yang diperlukan.