Program

Diskusi Etnologi dan Budaya Masyarakat Sunda | Common Room | 5 Maret 2009

common room

* Kegiatan ini merupakan bagian dari program pameran Etnologi dan Budaya Masyarakat Sunda yang diselenggarakan oleh Gimmick Creative Movement di Common Room sejak tanggal 21 Februari s/d 7 Maret 2009.

Pembicara: Zaini Alif dan Abah Olot

Catatan Diskusi:
Membicarakan berbagai masalah yang terkait dengan kebudayaan masyarakat Sunda dalam beragam sudut pandang terkadang memerlukan strategi agar dapat melahirkan paradigma berfikir yang lugas dan menghasilkan watak sosial yang toleran. Masyarakat Sunda hari ini, lengkap dengan berbagai latar belakang narasi historis dan kondisi modernitas yang ada telah mendorong anak muda di Kota Bandung berada dalam situasi yang ambigu secara kultural. Namun begitu, situasi semacam ini setidaknya juga ikut mendorong lahirnya semangat pencarian struktur dasar kebudayaan masyarakat Sunda kontemporer yang disertai dengan spirit yang plural dan modern.

Menurut Zaini Alif, seorang praktisi dan budayawan muda masyarakat Sunda, terdapat beberapa pandangan filsafat Sunda yang mendasari pemahaman tentang luasnya kehendak masyarakat Sunda untuk dapat menyelami dunia. “Ulah jadi Sunda anu sarubak jaman, tapi kudu jadi Sunda anu saampar jagat”. Pandangan ini setidaknya menjadi suatu pernyataan sikap tentang bagaimana budaya Sunda hari ini dapat dipahami bukan hanya sebagai representasi dari nilai-nilai lokal tetapi juga merupakan perspektif yang dapat dipahami secara universal. Hal ini terutama menyoroti bagaimana dunia kemudian dapat mengetahui bahwa masyarakat Sunda juga memiliki ilmu rasa (estetika), nilai-nilai, pandangan filsafat, dsb. Dalam konteks ini, kebudayaan Sunda semestinya dapat menyumbangkan kontribusi pemikiran bagi manusia sejagat raya demi terwujudnya kehidupan bersama yang lebih baik.

Dalam sebuah penggalan narasi historis mengenai Nusantara (Indonesia) dikenal gugusan pulau yang disebut sebagai The Greater Sunda Islands. Bagi sebagian kalangan anak muda, hal ini setidaknya melahirkan banyak pertanyaan. “Kita harus memahami Sunda yang mana?”, demikian imbuh Zaini. Saat ini semua yang dibuat oleh leluhur masyarakat Sunda telah kadung menjadi simbol dan artifak yang idealnya dapat terus dimaknai dengan perspektif yang kontekstual dengan situasi zaman. Namun begitu, sangat disayangkan apabila saat ini sebagaian besar masyarakat Sunda telah kehilangan banyak informasi dan pengetahuan mengenai leluhurnya, sehingga yang saat ini dapat dipelajari hanyalah sisa-sisa peninggalan yang minim akan sumber tulisan.

Selanjutnya menurut Zaini kemana anak muda akan dibawa bersama dengan masyarakat Sunda? Menurutnya pada sebagian masyarakat Sunda, ilmu carek yang diceritakan dan dimitoskan masih terus diturunkan sampai sekarang. Sementara itu ilmu corek atau yang dituliskan tidak terlalu dipercayai orang Sunda sebagai media diseminasi informasi karena tulisan dianggap bisa dipalsukan menjadi suatu asumsi dan bisa disanggah dengan argumen yang logis.

Dijelaskan Zaini dengan mengutip Pramoedya Ananta Toer yang menyatakan bahwa lokalitas bukan ruang terpencil yang tak tahu bagaimana menanggapi hegemoni asing. Lokalitas juga bukan ruang kosong tanpa perlawanan. Lokalitas adalah sebuah ruang gerak dan relasi penuh percakapan dan perdebatan yang memungkinkan berbagai macam pencarian posisi-posisi baru. Lokalitas adalah bangunan sosial dimana daya tawar beroperasi dan proses produksi dan reproduksi berlangsung.

common room

Dalam diskusi, beberapa hal yang digarisbawahi Zaini tentang masyarakat Sunda dalam konteks budayanya adalah kesadaran akan media sebagai bagian yang integral dalam budaya Sunda itu sendiri. Budaya media adalah suatu proses dialektika dari berbagai unsur budaya untuk membentuk sosok yang melibatkan interaksi dalam penggunaan media. Dalam hal ini, pemanfaatan media dapat dikatakan merupakan peristiwa utama dari interaksi dialogis antar kelompok masyarakat yang ada.

Zaini menyatakan bahwa kebudayaan tidak seperti banyak dibayangkan orang sebagai produk akhir yang mantap untuk selamanya. Ia merupakan suatu proses pembentukan dan perkembangan yang dialektis sifatnya. Karena merupakan suatu dialektika, kebudayaan akan terus terlibat dalam kondisi tawar menawar, “tesis-antitesis” antara berbagai unsur budaya untuk mencapai tahap yang lebih mapan. Sintesis yang menghasilkan suatu sosok budaya akan tampil dalam kemapanan yang sementara karena pada suatu saat ia akan ditantang pada suatu antitesis yang akan menggelindingkan suatu sintesa budaya yang baru.

Apa yang disebut orang sebagai “kebudayaan Sunda”, “kesenian Sunda”, “musik Sunda”, dan “bahasa Sunda”, misalnya, adalah merupakan sintesa budaya yang terbentuk melalui proses dialektika yang panjang. Sampai saat ini, sintesa budaya Sunda itu akan ditantang oleh berbagai antitesis yang akan menggelindingkan dialektika baru bagi kebudayaan Sunda secara umum.

Pada masyarakat etnik di beberapa negara berkembang yang pada umumnya disangga oleh sistem ekonomi pertanian tradisi, istilah “budaya media” memiliki maknanya sendiri. Masyarakat etnik dengan latar pertanian tradisi pada perkembangannya mencapai kemapanan sosok budaya, sistem pertanian, sistem budaya, dan kekerabatan antara lain melalui penggunaan media yang memiliki hubungan yang erat dengan aktifitas ritual dan upacara tertentu. Upacara tersebut pada maknanya yang khas adalah media juga. Fungsinya seperti media mana pun terutama untuk menyampaikan informasi.

Pada masyarakat etnik tradisional, sistem informasi dan pengetahuan yang berkembang biasanya memiliki hubungan yang erat dengan sistem kepercayaan, sistem pertanian, sistem kekerabatan, dan sistem kesenian. Dalam hal ini, wahana utama untuk menyampaikan berbagai informasi dan pengetahuan yang berkembang biasanya disebarkan melalui karya seni, seperti misalnya seni teater, seni tari, musik, kesusastraan, seni rupa, dan arsitektur. Adapun penyampaian sistem tersebut dalam kegiatan sehari-hari berjalan melalui sistem jaringan kekerabatan secara oral dan verbal. Apakah melalui keluarga inti dan keluarga jaringan maupun melalui balai-balai pedesaan.

Walaupun dalam masyarakat etnik tradisional ada kesusastraan (yang berarti telah dikenal budaya tulis), namun penyebaran informasi lewat media kesusastraan biasanya disampaikan dengan nyanyian (seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali), atau secara langsung berupa sastra lisan. Pendek kata, media dalam masyarakat etnik tradisional di beberapa wilayah di Nusantara adalah “media lisan”, “media telinga”, “media mata”, serta “media pertunjukan”, dimana teks, bebunyian dan representasi visual disampaikan secara bersamaan dalam satu pertunjukan kesenian.

Pada masyarakat modern berbasis industri yang biasanya ditandai dengan perkembangan IPTEK yang maju, lengkap dengan sistem ekonomi dan politik yang lebih bebas dan terbuka, serta memiliki sistem pendidikan yang menjangkau masyarakat luas, “budaya media” memiliki makna yang sebenarnya. Inilah masyarakat yang memanfaatkan media (informasi) secara maksimal sehingga hidup sehari-hari nyaris lumpuh bila pada suatu ketika keberadaan media modern itu hilang tercabut dari masyarakat.

Dalam kesempatan ini, Zaini kemudian menguraikan dasar-dasar filsafat yang kemudian menjadi paradigma berfikir masyarakat Sunda:

1. Pandangan hidup tentang manusia sebagai pribadi orang Sunda menyatakan bahwa manusia harus punya tujuan hidup yang baik, dan senantiasa sadar bahwa dirinya hanya bagian kecil saja dari alam semesta. Sifat-sifat yang dianggap baik adalah harus sopan, sederhana, jujur berani dan teguh pendirian dalam kebenaran dan keadilan, baik hati, bisa dipercaya, menghormati dan menghargai orang lain, waspada dapat mengendalikan diri, adil dan berpikiran luas serta mencintai tanah air dan bangsa.

Menurut ilmu siloka, orang Sunda lebih percaya bahwa kemampuan batiniah melebihi kemampuan raganya, karena orang Sunda percaya bahwa pikiran dan pemikirannya mempunyai kemampuan yang luas. Ini kemudian menjadi alasan kenapa orang Sunda memakai iket, yang terutama digunakan untuk menjaga diri dari pemikiran yang negatif. Sementara baju hitam menjadi suatu representasi karakter “hideung”, yang dapat dimaknai sebagai sifat yang memiliki pendirian yang teguh.

2. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan masyarakat.

Dalam naskah “Siksa Kandang Karesian”, disebutkan bahwa ajaran-ajaran itu memiliki 3 fungsi, yaitu:

  • Sebagai pedoman dalam menjalani hidup.
  • Sebagai kontrol sosial terhadap kehendak nafsu yang timbul pada diri seseorang.
  • Sebagai pembentuk suasana dalam masyarakat tempat seseorang lahir, tumbuh dan dibesarkan yang secara tak sadar meresap ke dalam diri semua anggota masyarakat.

Terkait dengan uraian di atas, ada cerita mengenai kenapa harus ada kolecer (baling-baling) di ladang orang Sunda yang diuraikan dalam teks berikut: “Salega-legana sawah, minimal kudu boga ladang, salega-legana ladang kudu boga kolecer hiji.” Konon katanya kolecer menghadirkan apa yang tidak ada menjadi ada. Dengan kolecer, angin yang tadinya tidak dapat terlihat menjadi dapat terlihat pergerakannya. Angin adalah “cukang lantara” atau asal muasal. Dengan adanya kolecer, kita dapat melihat angin yang merupakan sumber kehidupan untuk bernafas, sehingga dengan melihat kolecer kita juga dapat lebih menghargai hidup.

3. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan alam.

Dalam naskah “Siksa Kandang Karesian” terdapat ungkapan, “Makan tidak sekedar lapar, minum tidak sekedar haus, berladang sekedar cukup untuk makan.” Dalam konteks ini, kehidupan orang Sunda dianjurkan untuk “siger tengah” atau “siniger tengah”, yaitu tidak kekurangan tetapi tidak berlebihan. Sama sekali bukan untuk kemewahan, melainkan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan demikian tidak menguras atau memeras alam secara berlebihan, sehingga terjaga kelestariannya.

4. Pandangan hidup tentang hubungan manusia dengan Tuhan.

Masyarakat Sunda telah mengenal Tuhan sebelum agama Islam masuk ke wilayah Nusantara. Sejak pra-Islam orang Sunda percaya bahwa Tuhan itu Esa. Meskipun pernah memeluk agama Hindu, namun dewa-dewa Hindu ditempatkan di bawah Hyang Tunggal atau Batara Tunggal. Tuhan Maha mengetahui, mengetahui apa yang diperbuat mahlukNya. Karena itu manusia wajib berbakti dan mengabdi kepada tuhan. Tuhan juga disebut nu murbeng alam (yang menguasai alam), nu mahawisesa (yang maha kuasa), nu mahasuci (yang maha suci), dll. Tuhan menghidupi mahluk-Nya, memberi kesehatan, memberi rizki dan mematikan pada waktunya.

Dalam bentuk rumah Sunda kita mengenal Buana Luhur (tekad), Buana Panca Tengah (ucap), Buana Larang (lampah), serta Buhun Nagara Sarat, yang dapat kita pahami sebagai sumber dari ilmu pengetahuan. Dalam hal ini, apapun dapat dikatakan bisa menjadi guru, dan siapapun bisa menjadi guru.

5. Pandangan hidup dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah.

Ajaran ini memandang penting untuk memperlihatkan rasa tanggung jawab, tidak boros, selalu mengukur keinginan dan keperluan dengan penghasilan serta selalu hidup sederhana. Kreatif mencari lapangan kerja sendiri dan percaya kekuatan sendiri, menyesuaikan diri dengan lingkungan, dengan perkembangan zaman dan dengan kebijaksanaan yang berlaku ditempat hidupnya. Dalam hal ini, orang Sunda selalu dianjurkan untuk berusaha menggapai hari depan yang lebih baik dengan mempelajari ilmu sampai mendasar sehingga dapat diamalkan.

Dalam permainan anak-anak, setiap permainan punya waktu. Bagi sebagaian masyarakat Sunda, permainan adalah bagian dari konsep anak kecil mempelajari alam dan mengenal Tuhannya. Dalam hal ini, setiap permainan punya waktunya sendiri dan manusia dilihat sebagai mahluk yang sedang bermain.

Uraian tersebut diatas juga dilengkapi dengan cerita mengenai konsep meleburnya batin dan jasmani sehingga menjadi mahluk. “Ai” – wujud batin yang belum berjasad dikisahkan dalam cerita ketika Sang Rama menyuruh Ai untuk turun ke bumi namun menolak, karena di Buana Panca Tengah seuneuna panas (apinya panas), beusina seuket (besinya runcing), usik malik wawangenan (tingkah laku kita di atur). Lalu Sang Rama berkata jangan khawatir, bekal akan disediakan oleh Sanghiyang Geurit yang tercermin melalui beberapa point berikut:

1. Ambu langit ambu si sudakara
2. Ambu tengah nyi radakasih
3. Ambu bumi dayang wirati

Melalui cinta kasih Ibu, simbarang kandung dan bapak simbarang jadikeun, mulailah Ai bertapa dalam perut indung dengat tahap-tahapan sebagai berikut:

1 bulan ngaherang
2 bulan ngalenggang
3 bulan ngarupa
4 bulan ngareka
5 bulan malik muter
6 bulan tumpang pitu
7 bulan nunjuk ka sang hiang manggung
8 bulan lilimbungan di tanah paying
9 bulan matur ka sang rumuhun

Di bulan ke-9 ini ambu menyandang aing. Jadi aing—jadi diri.

common room

Presentasi dan diskusi yang disajikan Zaini tampaknya berhasil membangun suatu pemahaman yang yang baru diantara para peserta diskusi. Hal ini didukung dengan atmosfer yang santai dan dengan pola komunikasi yang hampir keseluruhannya berkarakter informal. Jumlah peserta diskusi yang datang hampir lintas kalangan: budayawan Sunda, akademisi, praktisi, komunitas anak muda, organisasi massa, seniman, musisi dan lain-lain. Akhir dari presentasi dilanjutkan dengan pertunjukan musik dari kelompok Karinding Attack!!! dan Giri Karenceng.

Karinding adalah alat musik tradisional yang terbuat dari Bambu. Penampilan dari Karinding Attack!!! kemudian dilanjutkan dengan workshop pembuatan Karinding oleh Abah Olot yang selama ini dikenal sebagai seniman, pengrajin, sekaligus pelestari alat musik karinding.

Moderator diskusi selanjutnya mencoba untuk mengeksplorasi beberapa pertanyaan kritis dari peserta diskusi. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah tentang sejarah Karinding itu sendiri. Menurut Zaini, karinding awalnya dibuat untuk mengusir hama yang biasa dilakukan oleh anak kecil dalam membantu orangtua yang tengah bertani di sawah atau berkebun di ladang. Dalam konteks manusia dewasa, karinding kemudian juga dijadikan alat untuk menyatakan cinta. Sang pria yang hendak melamar perempuan pujaan kemudian melantunkan lagu Adu Liang yang nantinya dibalas oleh sang calon pasangan dari dalam rumah. Pada tahap selanjutnya sang lelaki akan masuk ke dalam rumah dan disuguhi minum air di dalam entik (wadah air dari batok kelapa) sampai habis. Apabila orang tua setuju, entik yang habis itu akan diisi kembali dengan air.

Menurut Abah Olot, upaya untuk melestarikan alat musik tradisional karinding dan budaya Sunda adalah amanah orang tua yang sekaligus merupakan warisan bagi generasi muda untuk tetap “panceug dina galur, yen jati teh tong kasilih ku junti” dan konsisten dengan jati diri.

Selain alat musik karinding, diskusi juga membicarakan alat musik tradisional Sunda yang lain yaitu Toleat. Seorang narasumber dan pemain Toleat yang bernama Abah Iwan beserta Zaeni mengatakan bahwa terdapat 3 jenis alat musik tiup tradisional Sunda, yaitu: toleat, taleot, toleot. Juga terdapat mantra sebelum membuat toleat yang berbunyi “ojok-ojok uwang-awung, ngarojok anu di saung.” Dalam hal ini, instrumen toleot lebih identik dengan permainan mistik. Konon katanya apabila dimainkan dapat menghadirkan sesuatu yang mistis.

Karena keterbatasan waktu, diskusi berakhir sekitar jam 20.00. Melalui diskusi ini, sepertinya eksplorasi tentang relevansi dan visi budaya Sunda menemukan pusarannya dengan nilai-nilai toleransi dan universalitas nilai-nilai kemanusiaan. (RG)

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *