Beberapa waktu lalu grup Electropop asal Bandung, Bottlesmoker bertandang ke negara Filipina dalam rangka meramaikan satu gelaran festival musik cutting edge (non-mainstream) bertajuk A*Fest 2010. Dalam gelaran tersebut mereka tampil selama dua kali yaitu Route196 pada 15 April 2010 dan Saguijo pada 16 April 2010. A* Fest sendiri merupakan festival musik cutting edge seantero Asia yang diselenggarakan oleh indie label asal Manila, Kindassault Records. Festival ini digelar secara marathon selama empat hari berturut-turut mulai tanggal dari tanggal 14-17 April 2010 di empat venue yang berbeda.
Selain perwakilan dari Indonesia, A*Fest turut menampilkan pula band-band dari negara Thailand, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Hongkong. Secara total, ada tiga belas band yang tampil selama empat hari helaran tersebut.
“Ini merupakan kebanggaan buat saya pribadi, di mana Bottlesmoker diberi kesempatan untuk mewakili Indonesia. Kesempatan ini akan kami buktikan dengan maksimal untuk menunjukkan identitas band dari Indonesia,” tutur frontman Bottlesmoker, Anggung Suherman atau biasa disapa Angkuy ini.
Keberhasilan mereka merambah panggung internasional di A*Fest tentu tak dibangun lewat komunikasi satu malam bak Sangkuriang membuat perahu. Lewat dunia maya, mereka membangun jaringan dan komunikasi selama sekitar tiga bulan dengan pihak panitia festival. Intensitas komunikasi yang dibangun melalui situs jejating sosial terutama Myspace, Facebook, dan Twitter menjadi medan utama untuk memperluas jaringan ke “dunia luar”.
Dalam presentasi yang dipaparkan di Common Room, Jumat (30/4), Yulius Iskandar (Manajer Bottlesmoker) memaparkan persoalan jaringan dunia maya yang tak hanya memperluas jaringan akan tetapi ia juga bisa menjadi ajang untuk menampilkan budaya dengan budaya negara lain. Dunia maya pun jika digunakan secara positif maka ia akan berkorelasi dengan hal-hal berbau positif.
“Kami bisa melihat perkembangan komunitas musik di Manila. Kami sendiri kaget, ada sebuah klub di Manila yang setiap hari menggelar gigs,” tutur Yulius. “Bagi kami tampil di luar (negeri) selalu menjadi pengalaman yang mengasyikkan, meski hal itu tak bisa dilakukan dengan mudah, terutama pengorbanan energi dan uang yang telah kami keluarkan,” lanjut Yulius.
Menurut Yulius, untuk bisa tampil di Manila mereka mesti merogoh uang kas sendiri. Mereka juga membangun strategi dengan meminta sumbangan kepada relasi clothing/distro. Selain itu, mereka juga menjual CD dan merchandise selama festival berlangsung. Upaya-upaya ini merupakan langkah signifikan agar senantiasa mereka dapat tampil di Filipina. Melalui model pembentukan jaringan lewat dunia maya dan sinergis ekonomi antara band dengan industri kreatif seharusnya jadi model atau cetak biru bagaimana band-band independen yang notabene minim biaya bisa eksis dan mengharumkan nama kota atau negara hingga institusi tertentu melalui sebuah pendekatan mutualisme.