Pada tanggal 6 Desember 2007, Common Room menyelenggarakan kegiatan community gathering yang dihadiri oleh beberapa teman dan komunitas yang berasal dari latar belakang yang beragam. Acara ini merupakan kegiatan rutin yang ditujukan untuk menjalin komunikasi dan jaringan lintas disiplin, selain juga sebagai upaya untuk terus mencermati perkembangan dan wacana diantara para pekerja kreatif di kota Bandung. Beberapa agenda yang dibahas di dalam pertemuan ini antara lain adalah wacana mengenai perkembangan ekonomi kreatif dan rencana pembentukan Bandung Creative City Forum. Selain itu, juga dibahas beberapa kemungkinan membentuk program kerjasama yang ditujukan untuk mendorong perkembangan industri kreatif di kota Bandung dan Jawa Barat.
Diantara banyak teman yang saat itu hadir adalah Andar Manik (Seniman, pengelola Jendela Ide), Dewi “Dee” Lestari (Penulis dan musisi), Fiki Satari (Pengusaha, ketua KICK), Helvi Sjarifuddin (Produser musik, pendiri FFWD Records), Marin Ramdhani (Pemilik MonikCeltic/ FFWD Records), Dini Cindaga (Pemilik NoLabelStuff/ NLS), Charly (Pemilik toko Hobbies/ Pendiri Indonesian Skateboard Association), Yayat (Ahli tata suara, komunitas Ujungberung Rebels/ Homeless Crew), Kimung (Penulis, komunitas Ujungberung Rebels/ Homeless Crew), Eben (Gitaris Burgekill, komunitas Ujungberung Rebels/ Homeless Crew), Man (Komunitas Ujungberung Rebels/ Homeless Crew), Addy Gembel (Vokalis Forgotten, komunitas Ujungberung Rebels/ Homeless Crew), Sat N.B (Pemred majalah Ripple & vokalis Pure Saturday), Agus Rakasiwi (Wartawan harian PR & koordinator Forum Diskusi Wartawan Bandung), dsb.
Dalam acara ini, Dewi Lestari menekankan bahwa forum ini sangat diperlukan mengingat potensi yang dimiliki oleh warga kota Bandung. Menurut Dewi selama dua dasawarsa terakhir kota Bandung seperti tengah kehilangan arah karena potensi ini kurang mendapat perhatian yang cukup dari banyak pihak, selain juga karena para pelaku dunia kreatif di kota Bandung sepertinya bergerak sendiri-sendiri. Sementara itu, Fiki Satari menyatakan kalau forum ini akan berguna untuk meningkatkan posisi tawar untuk bernegosiasi dengan banyak pihak agar pengembangan ekonomi yang berbasis kreatifitas di kota Bandung mendapatkan dukungan yang semestinya. Dalam diskusi ini, Yayat dari komunitas Ujungberung Rebels/ Homeless Crew berpendapat kalau pemerintah sebaiknya tidak terlalu banyak dilibatkan di dalam forum, namun diharapkan posisi pemerintah dapat mendukung keberadaan forum ini.
Lebih jauh lagi, beberapa peserta gathering juga menekankan perlunya forum yang bersifat inklusif, sehingga wacana mengenai pentingnya mengembangkan ekonomi kreatif tidak hanya menjadi diskusi yang elitis dan dapat mengakomodasi kepentingan para stake holder yang beragam. Hal ini terutama ditujukan agar wacana mengenai ekonomi kreatif dapat berdampak bagi masyarakat, terutama dari sisi penciptaan lapangan kerja dan kesempatan ekonomi bagi masyarakat secara lebih luas; tidak hanya di kota Bandung tetapi juga di daerah-daerah lain. Dalam acara ini juga dibicarakan beberapa kendala pengembangan ekonomi kreatif, terutama beberapa hal yang terkait dengan minimnya fasilitas publik dan kebijakan pemerintah yang cenderung terlalu birokratis dan rawan akan korupsi. Menanggapi hal ini, para peserta gathering sangat berharap bahwa forum ini dapat menjadi wahana mediasi kepentingan bagi para pelaku ataupun stake holder dengan pemerintah ataupun pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan yang sama.
Selain itu, seperti yang dipaparkan oleh Marin Ramdhani dari MonikCeltic/ FFWD Records, bahwa kota Bandung sudah punya segudang seniman dan musisi namun masih sedikit orang yang tertarik untuk mengurus masalah manajemen dan pengelolaan kegiatan. Hal ini sedikit banyak berdampak pada kualitas dan pengelolaan acara, sehingga kegiatan kreatif di kota Bandung menjadi sulit untuk berkembang lebih jauh. Selain minimnya perhatian di bidang manajemen dan organisasi, Eben dari Burgerkill (komunitas Ujungberung Rebels/ Homeless Crew) juga menyatakan kesulitan untuk mengembangkan ekonomi kreatif juga salah satunya adalah karena ada semacam gap diantara para pelaku dan komunitas yang ada. Untuk itu, idealnya pembentukan Bandung Creative City Forum dapat menjadi wahana untuk menjembatani kesenjangan komunikasi dan mendorong kerjasama bagi para stake holder yang memiliki latar belakang beragam.
Agus Rakasiwi dari Forum Diskusi Wartawan Bandung menyarankan kalau para pelaku dan komunitas kreatif di kota Bandung sebaiknya memiliki media sendiri yang dapat digunakan untuk menyebarluaskan sekaligus menjalin komunikasi dengan masyarakat luas. Idealnya media yang digunakan dapat dengan mudah diakses dan harus murah, sehingga masyarakat umum juga bisa ikut dilibatkan untuk membicarakan wacana dan perkembangan di bidang ekonomi kreatif. Di dalam pemberitaan media (mainstream), berbagai kegiatan kreatif di kota Bandung relatif masih kurang mendapatkan perhatian media nasional karena Jakarta sampai saat ini masih dilihat sebagai pusat. Namun hal ini dapat disiasati dengan menjalin hubungan kerjasama dengan teman-teman wartawan media mainstream, selain juga bekerjasama dengan para pekerja media yang lebih spesifik, semisal media lokal maupun jaringan blogger.
Salah satu kesimpulan yang diambil dari pertemuan ini adalah kesepakatan untuk membentuk Bandung Creative City Forum yang terdiri dari para pelaku dan komunitas yang beragam dan bersifat terbuka. Selanjutnya dipandang perlu untuk menyiapkan working group yang terdiri dari perwakilan para stake holder untuk membicarakan rencana dan program secara lebih rinci. Untuk hal ini, para peserta gathering meminta Common Room untuk memfasilitasi kegiatan Bandung Creative City Forum, sekaligus menyebarluaskan informasi mengenai pertemuan ini kepada masyarakat luas. Para peserta pertemuan ini sepakat bahwa forum ini harus inklusif dan terbuka bagi siapapun yang memiliki kepentingan dan keperdulian untuk mendorong perkembangan industri kreatif di Indonesia, khususnya kota Bandung dan Jawa Barat.