Feature

PACILINGAN REMPAG: Sound Story from Denawa’s Childhood

PACILINGAN REMPAG
Sound Story from Denawa’s Childhood

Komposisi bunyi oleh Robi Rusdiana, dimainkan oleh Ensemble Tikoro yang berkolaborasi dengan Dan Mackinlay (pemusik elektronik/sound artist dari Australia) dan M. Ismail (ilustrator)

Selasa, 17 November 2015; pk. 19.30 WIB
Bale Rumawat Universitas Padjadjaran, Jl. Dipatiukur No. 35, Bandung
*gratis & terbuka untuk umum

Deskripsi Pertunjukan
Pacilingan, diambil dari Basa Sunda yang berarti WC tanpa atap atau toilet tradisional yang biasanya berada di sungai kecil, sawah, kolam, dan tempat di luar rumah lainnya. Hingga kini, pacilingan masih ada di beberapa tempat di desa, namun di kota nyaris sudah tidak ada, terkecuali di wilayah pemukiman kumuh. Keberadaan toilet begitu penting bagi keberlangsungan hidup manusia, tetapi masih jarang seniman mengangkatnya ke dalam sebuah tema atau menjadi inspirasi untuk sebuah karya.

Pacilingan Rempag, yang berarti runtuhnya kakus, merupakan sebuah reinterpretasi dalam penyikapan hilangnya keceriaan dan kebahagiaan ketika seseorang melakukan kegiatan di dalam kakus. Pada masa dahulu, anak-anak bahkan melakukan kegiatan buang air besar di pacilingan secara bersama-sama. Sembari bercanda, menikmati angin dan cerahnya langit. Namun kini, sudah jarang sekali anak-anak melakukan itu. Entah karena perubahan pola pendidikan mengenai privasi ataupun hal lainnya.

Dalam karya ini, akan disajikan cerita bunyi yang diperkuat
dengan ilustrasi pada proyektor. Adapun cerita tersebut adalah mengenai kehidupan masa kecil para denawa,kaum antagonis atau tokoh raksasa dalam cerita wayang pada umumnya. Karya ini ditujukan untuk semua umur, berupa rangkaian komposisi musik kontemporer yang dibalut dengan sebuah ensemble. Diharapkan mampu menjadi bahan apresiasi menarik mengenai pengolahan bunyi dan visual bagi masyarakat umum.

Adapun bentuk penyajian dari karya ini adalah sebagai berikut:
1. Instrumen musik/bunyi
Musik elektronik, oleh Dan Mackinlay
Jentreng, oleh Wisnu Ridwana
Tarawangsa, oleh Teguh Permana
Paduan suara leher, oleh Ensemble Tikoro, sekaligus sebagai pemeran tokoh-tokoh yang ada dalam cerita.

2. Ilustrasi
Ilustrasi yang disajikan oleh M. Ismail berupa pembuatan ilustrasi ketika di tengah-tengah pertunjukan sedang berlangsung, disajikan dengan proyektor.

3. Deskripsi pertunjukan
Tata pentas yang disajikan dalam pertunjukan ini mirip dengan konser atau pemutaran film bisu dengan orkestra. Namun dalam karya ini pemusik atau yang membuat bunyi bergerak dari berbagai arah, membuat sebuah akustik surround di tengah-tengah penonton. Layar proyektor untuk ilustrasi berada tepat di tengah depan dan samping penonton.

Sinopsis
Bebunyian yang dikeluarkan lewat tubuh merupakan bunyi alamiah. Manusia membuat hukum dan norma bagi bunyi yang dihasilkan oleh tubuh mereka ke dalam sebuah tatanan adat istiadatnya. Namun, tanpa bunyi tersebut, manusia tidak akan pernah melangsungkan kehidupannya selama ribuan tahun. Masih banyak manusia merasa malu dan sembunyi-sembunyi membunyikan bebunyian dalam tubuhnya, namun para denawa, mereka lebih terbuka dan bebas mengeluarkan bebunyian tersebut, bahkan secara bersama-sama. Hingga pada sebuah tempat yang bernama pacilingan, tempat tersebut sudah tidak mampu lagi menampung kebersamaan dan kebahagiaan yang mereka miliki, dan ketika semakin banyaknya manusia menduduki bumi ini, maka terjadilah pacilingan rempag.

Pertunjukan ini didukung oleh Asialink, Universitas Padjadjaran dan Common Room Networks Foundation

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *