Solidarity Circle: Membangun Ruang Aman dan Setara di Komunitas Digital

Newsroom

Solidarity Circle: Membangun Ruang Aman dan Setara di Komunitas Digital

Suasana sore di Wisma Hijau, Depok terasa hangat dan reflektif ketika puluhan peserta Rural ICT Camp 2025 duduk melingkar untuk mengikuti sesi bertajuk “Solidarity Circle: Safe Space” pada Jumat (26/9/2025). Kegiatan ini menjadi ruang bersama bagi seluruh peserta dari berbagai komunitas, organisasi masyarakat sipil, dan mitra regional untuk mendiskusikan makna “ruang aman” baik di dunia nyata maupun digital serta bagaimana mewujudkannya di lingkungan masing-masing.

Sesi ini merupakan kelanjutan dari inisiatif tahunan Rural ICT Camp untuk memperkuat perspektif kesetaraan gender, inklusi sosial, dan rasa saling menghargai dalam ruang kerja komunitas. Tahun ini, sesi Safe Space terasa lebih spesial karena melibatkan peserta laki-laki dan perempuan secara setara, dengan pendekatan yang lebih reflektif dan kolaboratif.

Dalam pengantarnya, Project Officer Common Room, Andriani Kesa Alivia menjelaskan bahwa tujuan sesi Solidarity Circle adalah memperdalam pemahaman bersama tentang konsep safe space, serta merumuskan panduan praktis (guideline) yang dapat digunakan oleh para peserta Sekolah Internet Komunitas (SIK) ketika kembali ke daerah masing-masing.

“Safe space bukan hanya untuk perempuan, tapi juga untuk laki-laki dan beragam gender lainnya. Kita ingin semua orang punya tempat untuk merasa didengar, dihargai, dan dilibatkan secara setara,” ujarnya.


Manajer Media dan Kerja Sama Common Room, Tisha Amelia menambahkan bahwa sesi ini dikemas dalam format diskusi kelompok informal agar setiap peserta bisa merasa nyaman berpendapat tanpa rasa takut. “Tidak boleh ada yang mendominasi, semua harus punya ruang untuk bicara,” katanya.

Peserta dibagi menjadi lima kelompok kecil, masing-masing difasilitasi oleh perwakilan dari berbagai organisasi seperti CRI, CMCI, LocNet, dan AOI. Diskusi mengalir dari pengalaman pribadi hingga refleksi kolektif tentang apa yang membuat seseorang merasa aman atau sebaliknya, tidak nyaman  dalam ruang publik maupun digital.

Hal-hal sederhana yang sering terabaikan, seperti datang tepat waktu, menghormati aturan forum, dan tidak mendominasi percakapan menjadi sorotan dalam diskusi. “Ruang aman itu bisa dimulai dari hal sesederhana menghormati waktu dan mendengarkan orang lain,” kata Nasrun Mustafa peserta dari SIK Taliabu.


Dinamika relasi kuasa dan hirarki sosial dalam komunitas juga tak lepas dari bahan diskusi. Banyak peserta perempuan mengaku pernah merasa tidak nyaman untuk berbicara di forum publik karena stereotip gender atau standar penampilan. Salah satunya adalah Fitri dari SIK Ngata Toroberbagi pengalaman ketika menjadi satu-satunya perempuan dalam sesi dialog kebijakan di hari sebelumnya.

“Awalnya saya ragu apakah pendapat saya akan diterima. Tapi ternyata didengarkan dan dihargai. Itu pengalaman pertama saya merasa ruang diskusi benar-benar aman,” ujarnya.


Diskusi kelompok ini menghasilkan sejumlah rekomendasi penting diantaranya membangun kepercayaan, menyepakati prinsip anti-diskriminasi, serta menegakkan sanksi atau teguran secara transparan dan bermartabat bila ada pelanggaran etika.

Peserta sesi ini juga sepakat bahwa setiap individu memiliki tanggung jawab pribadi untuk menciptakan ruang aman bagi diri sendiri, terutama di ruang digital yang rentan terhadap komentar negatif dan body shaming.

Salah satu perspektif baru dalam diskusi adalah laki-laki juga membutuhkan safe space. Peserta seperti Akew dari SIK Ciptagelar dan Vinsen dari SIK Sumba Tengah mengungkapkan bahwa norma sosial sering membatasi laki-laki untuk menunjukkan emosi.


“Kami sering dianggap harus kuat, tidak boleh menangis. Padahal kami juga bisa rapuh, tapi tidak punya ruang untuk mengungkapkannya,” ujar Akew.

Menariknya, diskusi Solidarity Circle tahun ini tidak hanya membahas perempuan dan gender, tetapi juga inklusivitas bagi penyandang disabilitas dan kelompok rentan lainnya.

Penasihat AI Fair Forward GIZ Indonesia, Karlina Octaviany berbagi pengalaman pribadi setelah menjadi penyandang disabilitas. Ia menekankan bahwa aksesibilitas fisik seperti tangga kecil atau ruang tanpa ramp dapat menjadi penghalang besar bagi partisipasi. “Hal yang sepele bagi sebagian orang bisa sangat berarti bagi kami,” katanya.

Gender Regional Coordinator for Asia Local Networks Initiative, Catherine Tiongson menyampaikan apresiasi kepada seluruh fasilitator dan peserta atas keterbukaan dalam berbagi pengalaman.

“Banyak hal yang bisa kita bawa dari sini untuk menyusun panduan bersama tentang ruang aman. Ini akan menjadi referensi bagi seluruh jaringan LocNet dan Sekolah Internet Komunitas,” pungkasnya.***

Share Article

Berita Terbaru

Newsroom

Berita dan pembaharuan terbaru
langsung dari Common Room.

Solidarity Circle: Membangun Ruang Aman dan Setara di Komunitas Digital
This website uses cookies to improve your experience. By using this website you agree to our Privacy Policy.
Read more