Rabu (29/10/2025) menjadi hari kedua pelaksanaan Participatory Data Collection Project 2025 yang berlangsung di Aula Villa Pebi, Ciracap, Sukabumi, Jawa Barat. Dalam sesi ini, para peserta pelatihan mendapat kesempatan berharga untuk mempraktikkan langsung pengisian data di dashboard online yang telah disediakan oleh tim Common Room Network Foundation.
Kegiatan ini dipandu oleh IT Consultant Zefri K. Salman, serta didampingi oleh Koordinator Program Common Room, Andriani Kesa Alivia dan Staf Lapangan Common Room, Kiky Andhika. Secara bergantian, para peserta belajar membuat akun, mengisi data tentang infrastruktur layanan internet, kegiatan pelatihan, hingga survei penggunaan internet.

Menurut Zefri K. Salman, proses pengumpulan data ini bukan sekadar latihan teknis, tetapi merupakan langkah penting dalam membangun budaya data di tingkat desa. “Data bukan hanya angka yang kita isi di tabel, tapi cerminan nyata kondisi masyarakat kita. Dari data yang benar dan lengkap, kita bisa tahu apa yang perlu diperbaiki dan bagaimana desa bisa tumbuh,” ujarnya.
Zefri menambahkan bahwa kemampuan masyarakat dalam menggunakan sistem digital seperti dashboard ini menjadi pondasi penting bagi keberlanjutan program digitalisasi desa ke depan. Melalui website https://scn.commonroom.info/ Zefri menjelaskan beberapa “Fitur Input Data” yang tersedia diantaranya adalah “Input Data infrastruktur” yang bisa diisi dengan data terkait jaringan komunitas, infrastruktur teknologi, jaringan komunitas nirkabel, fasilitas publik, atau semacamnya.
“Ada juga Input Data Pelatihan yang mesti diisi dengan informasi tentang sesi pelatihan, workshop, kursus atau kegiatan pengembangan kapasitas yang diorganisir atau dicatat oleh SCN Indonesia. Data seperti jenis pelatihan, tanggal pelaksanaan, jumlah peserta, lokasi, materi atau pembicara, hingga hasil dari pelatihan tersebut,” tambah Zefri.

Fitur lain yaitu “Survey Penggunaan Internet” menunjukkan bahwa halaman tersebut adalah survei mengenai penggunaan internet oleh pengguna atau komunitas. Terdapat pilihan kategori Layanan Kesehatan, Layanan Pendidikan, Layanan Iklim, Kebutuhan Bisnis, dan lainnya untuk dipilih. Pengisian pun dilengkapi dengan kolom untuk menceritakan pengalaman saat menggunakan aplikasi sesuai dengan kategori yang telah dipilih. Contohnya adalah seberapa sering menggunakan internet, tujuan penggunaan internet, hingga adakah kendala atau hambatan saat mengakses internet.
“Satu lagi, pengguna pun bisa terlibat dalam pengisian artikel untuk ikut berbagi pengetahuan dan pengalaman di School of Community Networks. Tulisan dari pengguna bisa jadi inspirasi bagi banyak orang untuk membangun komunitas yang lebih kuat dan berdampak,” papar Zefri.
Koordinator Program Common Room , Andriani Kesa Alivia menegaskan pentingnya semangat kolaboratif antar peserta. “Kami ingin para Local Changemaker tidak hanya sekadar mengisi data, tetapi juga memahami maknanya. Setiap data yang dikumpulkan adalah cerita tentang desa mereka sendiri tentang bagaimana internet digunakan, bagaimana pelatihan dijalankan, dan bagaimana potensi desa bisa dikembangkan,” jelasnya.

Menariknya, meski awalnya banyak peserta mengalami kesulitan saat mengisi data secara daring, menjelang sesi berakhir mereka justru semakin antusias dan menikmati prosesnya. Bahkan, semangat kompetisi muncul di antara peserta yang saling berlomba memperoleh poin tertinggi dari setiap data yang berhasil diunggah.
“Sebagai bagian dari program, para Local Changemaker juga memiliki kewajiban yang jelas, mulai dari mengisi form komitmen dan profil diri, mencari dan menginput data ke website yang telah disediakan, membantu masyarakat memahami program, hingga memastikan data minimal dari 20 sumber masuk setiap bulannya,” lanjut Kesa.
Di sisi lain, mereka juga memperoleh hak dan penghargaan atas dedikasi yang diberikan. Setiap penyelesaian profil pribadi akan menghasilkan 10 poin, sementara pengisian tabel lengkap dari kategori infrastruktur, pelatihan, atau layanan lokal bernilai 25 poin. Jika tidak disertai unggahan foto, nilai berkurang menjadi 15 poin. Setelah 100 poin terkumpul, peserta akan memperoleh satu bintang yang dapat dibagikan di media sosial.

Akumulasi poin tentunya akan mendapat reward dari Common Room. Lebih menarik lagi, para Local Changemake akan diberikan pangkat sesuai dengan kontribusinya. Di jenjang awal pengguna mendapat gelar “Wargi Biasa”. Setiap individu di level Wargi Biasa adalah pondasi dan potensi murni dalam komunitas yang siap untuk memulai eksplorasi dan kontribusi.
Tahap selanjutnya adalah “Wargi Utama”. Sebagai Wargi Utama, pengguna telah menunjukkan komitmen awal yang signifikan dan membangun dasar yang kokoh. Level ini menandakan kredibilitas dan stabilitas. Tahap selanjutnya adalah “Jaro”, sebagai pemimpin komunitas di tingkat lokal. Level ini adalah tentang keseimbangan, integritas, dan memimpin pertumbuhan di area pencarian data. Jaro memiliki wewenang pengawasan dan bertanggung jawab untuk membimbing kelompok Wargi. Jaro adalah pilar yang menopang struktur menjadi lebih baik.

Tahapan selanjutnya adalah “Juragan” yang melambangkan kemakmuran, kekayaan, dan pengaruh yang meluas. Penggguna di level ini adalah master di bidangnya, memiliki sumber daya dan kemampuan untuk memajukan komunitas. Level ini adalah pengakuan atas pencapaian premium dan penguasaan yang efektif.
Tahapan Selanjutnya adalah “Kokolot”, seorang tetua yang dihormati dan disegani. Level ini melampaui kekayaan. Ini tentang otoritas moral dan kebijaksanaan yang mendalam. Pengalaman pengguna di level ini menjadi panduan bagi seluruh komunitas. Sementara di tahap tertinggi adalah “Penghulu” puncak dari seluruh hierarki. Penghulu adalah gelar yang melambangkan keunggulan absolut, kewenangan tertinggi, dan eksklusivitas. Pengguna di level ini adalah master sejati, berada di kelas yang berbeda dan menjadi tolok ukur tertinggi bagi semua kelompok Wargi.
Melalui sistem poin dan penghargaan ini, Common Room tidak hanya menanamkan semangat kompetisi positif, tetapi juga membangun rasa tanggung jawab dan kebersamaan di antara para peserta. Participatory Data Collection Project 2025 menjadi bukti nyata bahwa pemberdayaan digital di desa tidak hanya soal teknologi, tetapi juga tentang kolaborasi, edukasi, dan komitmen bersama untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas digital dan berdaya secara mandiri.***

