Kegiatan tahunan Rural ICT Camp resmi dibuka oleh Common Room Network Foundation di Ruang Kemuning, Wisma Hijau, Depok pada Selasa (23/9/2025). Tahun ini, Rural ICT Camp 2025 yang bertajuk “Internet Komunitas dan Akses yang Bermakna” dihadiri oleh partisipan dari berbagai organisasi mitra, lembaga pemerintah, dan perwakilan Sekolah Internet Komunitas (SIK) dari seluruh Indonesia.
Sejumlah tokoh penting secara bergantian menyampaikan sambutan, di antaranya adalah Counsellor for Economics and Social Affairs, British Embassy Jakarta , Samuel Hayes, Koordinator Bidang Ekosistem & Ruang Digital Direktorat Infrastruktur Ekosistem dan Keamanan Digital Bappenas, Andreas Bondan Satriadi, Global Learning and Mentorship Lead at LocNet Initiative, Carlos Baca, Penasihat AI Fair Forward GIZ Indonesia, Karlina Octaviany, Direktur Common Room, Gustaff H. Iskandar dan Koordinator Tim Pelaksana Pembina Teknis BAKTI, Lessy Sutiyono Aji.

Dalam sambutannya, Counsellor for Economics and Social Affairs, British Embassy Jakarta , Samuel Hayes menegaskan komitmen Pemerintah Inggris melalui Digital Access Programme (DAP) dalam mendukung komunitas yang masih kurang terlayani agar dapat mengakses teknologi yang aman, inklusif, dan terjangkau.
“Akses digital harus meningkatkan penghidupan dan memastikan setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam transformasi digital yang lebih luas,” ujar Hayes.
Ia juga mengajak seluruh peserta untuk tidak hanya mendengarkan, tetapi aktif berbagi pengalaman dan membangun kemitraan yang berkelanjutan di antara komunitas.

Sementara itu Koordinator Bidang Ekosistem & Ruang Digital Direktorat Infrastruktur Ekosistem dan Keamanan Digital Bappenas, Andreas Bondan Satriadi menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan komunitas lokal dalam memperkuat implementasi kebijakan pembangunan digital.
“Bappenas hanya bisa merencanakan, tapi implementasinya ada di tangan masyarakat yang langsung terjun ke lapangan,” jelasnya. Menurut Andreas, forum seperti Rural ICT Camp menjadi ruang penting untuk mengamati, meniru, dan memodifikasi praktik terbaik sesuai konteks daerah masing-masing agar berdampak nyata di akar rumput.

Dari perspektif global, Global Learning and Mentorship Lead at LocNet Initiative, Carlos Baca, menyampaikan rasa terima kasih atas kesempatan berkolaborasi. Ia menegaskan bahwa teknologi bukan semata soal perangkat keras, melainkan cara untuk menghubungkan manusia, sejarah, dan pengalaman.
“Pengetahuan tidak ada di buku, tapi di pengalaman dan kehidupan Anda.”,” katanya, sambil mengajak peserta berbagi pengalaman nyata dari komunitas masing-masing.

Penasihat AI Fair Forward GIZ Indonesia, Karlina Octaviany menyoroti pentingnya mendekatkan literasi kecerdasan buatan (AI) kepada masyarakat. Melalui program FAIR Forward, GIZ bersama Common Room telah mendirikan 10 Sekolah Internet Komunitas (SIK) sejak 2019.
“Kami ingin menghapus mistifikasi bahwa AI hanya milik masyarakat perkotaan. Teknologi ini harus dikembangkan bersama manusia dan komunitas,” ujar Karlina.
Ia berharap pengetahuan dan praktik yang dibangun selama kerja sama ini terus berkembang meski program resmi berakhir, terutama untuk memperluas akses teknologi di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).

Direktur Common Room, Gustaff H. Iskandar mengenang perjalanan lembaganya yang berawal dari ranah seni dan budaya menuju fokus pada pengembangan infrastruktur internet komunitas.
“Awalnya kami lembaga seni, tapi perlahan fokus kami bergeser ke pengembangan infrastruktur digital berbasis komunitas di pedesaan,” tutur Gustaff.
Ia menegaskan bahwa tantangan kesenjangan digital tidak hanya soal infrastruktur, tetapi juga hambatan sosial dan struktural yang mempersempit partisipasi digital. Karena itu, Rural ICT Camp menjadi “call for action” untuk memperkuat kolaborasi lintas disiplin dan lintas skala, dari lokal hingga global.
Meski hadir secara virtual Koordinator Tim Pelaksana Pembina Teknis BAKTI, Lessy Sutiyono Aji menekankan pentingnya kerja sama lintas sektor. Ia menjelaskan bahwa BAKTI telah menghadirkan layanan internet melalui satelit SATRIA-1 di 27.000 titik dan membangun BTS di wilayah 3T.
“Kami sangat mendukung inisiatif seperti Rural ICT Camp. Kolaborasi antara BAKTI dan Common Room dapat saling melengkapi untuk memperkuat akses digital yang inklusif,” ujarnya.
Lessy juga mengajak penyelenggara dan peserta untuk menjajaki kerja sama strategis dalam memperluas jangkauan dan efektivitas infrastruktur digital yang telah dibangun.

Pembukaan Rural ICT Camp 2025 pun ditandai dengan pemotongan pita oleh perwakilan lembaga mitra dan sesi foto bersama. Acara ini menjadi simbol dimulainya rangkaian kegiatan selama beberapa hari ke depan yang berfokus pada pelatihan, diskusi kebijakan, dan pameran inovasi teknologi berbasis komunitas.
Dengan semangat kolaborasi dan keberagaman peserta dari seluruh Indonesia, Rural ICT Camp 2025 diharapkan menjadi ruang pembelajaran kolektif untuk membangun ekosistem digital yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi masyarakat pedesaan.***

