Pengantar Diskusi
Usia 68 tahun dan sakit-sakitan tentu bukan kondisi Indonesia yang kita inginkan. Rumah bagi 250 juta kepala ini terkadang sulit untuk didefinisikan sebagai negara sehat. Pertumbuhan ekonomi yang selalu menjadi kebanggan harus berhadapan dengan riuhnya realita sosial dan politik yang penuh dengan potret perjalanan tak menyenangkan. Menjaga atmosfer positif masyarakat di tengah hiruk pikuk berita korupsi, kenaikan harga pangan, kejanggalan isi kurikulum pendidikan adalah tantangan besar. Kesesatan berpikir banyak pejabat publik di tingkat eksekutif, legislatif, juga yudikatif memperpendek sumbu optimisme mayoritas warga. Tingkah laku organisasi berbasis identitas agama turut memperkeruh suasana.
Sifat “lingkaran setan” yang lekat dengan ciri permasalahan di Indonesia kerap memupus harapan akan perubahan. Alhasil apatisme tak pelak tumbuh perlahan. Kekacauan yang datang silih berganti rupanya belum cukup menggerakkan setiap individu Indonesia untuk turut turun tangan dan menambah jumlah deret upaya pembenahan. Terlampau banyak bukti dari penelitian mata dunia internasional yang memperlihatkan fakta bahwa kita tertinggal di berbagai lini; keterbukaan pemerintahan, penegakan hak asasi manusia, hingga indeks pembangunan manusia.
Kemerdekaan yang kita kerap gaungkan menuju peringatan tanggal 17 Agustus adalah kemerdekaan semu—jika kita bersedia menyebutnya demikian. Kita belum merdeka dari 1001 masalah yang senantiasa menjerat kita dari segala sisi. Penjajahan sekarang ini tidak pantas lagi menunjuk “pengaruh asing” dan “produk barat” sebagai akar persoalan. Penjajahan saat ini bukan lagi ditandai oleh darah yang tumpah ruah. Penjajahan hari ini ditandai oleh kesadaran untuk berbenah yang belum cukup masif membuncah. Penjajahan detik ini kita lah aktornya.
Keengganan manusia Indonesia untuk berpartisipasi aktif sebagai warga negara yang bertanggung jawab terhadap kepentingan bersama adalah pelanggengan status semu dari kemerdekaan itu sendiri. Kita harus berani mengakui bahwa kombinasi karakter pengambil keputusan di pusat dan daerah yang belum 100% terbuka terhadap masukan konstruktif serta cara sebagian besar dari rakyat Indonesia yang masih merespon fenomena sosial-politik dengan diam dan memilih angkat tangan adalah hambatan yang perlu kita atasi bersama guna memperoleh makna sejati dari kemerdekaan. Paparan ini berupaya menjabarkan asal muasal kepasifan warga Indonesia dalam konteks negara demokratis dan bagaimana pendidikan dapat berperan dalam mengarahkan visi peserta didiknya menjadi warga negara yang aktif secara substantif dalam pembangunan.