Dalam sebuah sebuah mailing list, pembicaraan mengenai HKI kembali mengemuka terkait dengan wacana mengenai perkembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Sebagian pihak berpendapat kalau karya intelektual mutlak harus diproteksi agar para pencipta bisa mendapatkan insentif dari karya mereka. Saya kok malah berpendapat sebaliknya ya? Sejak semula saya sebetulnya termasuk orang yang tidak terlalu tertarik dengan konsep HKI. Dalam beberapa aspek rasanya memang diperlukan tetapi tidak semua karya intelektual menurut saya harus diproteksi. Bagi mereka yang percaya bahwa informasi dan pengetahuan seharusnya menjadi hak dasar yang idealnya bisa diakses secara terbuka oleh orang banyak sebagai wahana pemberdayaan, konsep tentang HKI tentu saja menjadi gagasan yang kontra produktif.
Isu HKI menurut saya juga masih menjadi dilema di Indonesia karena apabila dilihat dari aspek tradisi dan latar belakang budaya, masyarakat Indonesia tidak mengenal konsep perlindungan hak kekayaan intelektual. Bagi sebagian masyarakat tradisi, seniman dan intelektual memiliki fungsi tertentu di dalam masyarakat. Hal ini juga berlaku bagi berbagai karya yang dihasilkan oleh para seniman, pengrajin atau penulis yang biasanya membiarkan karyanya berada di tataran domain publik sehingga bisa diakses, direproduksi dan disebarkan sendiri sesuai dengan keperluan masing-masing.
Di Indonesia kita juga mengenal konsep “kagunan” atau darma sebagai “rights and duties of each individual“, yang menjelaskan posisi seniman atau intelektual sebagai sumber inspirasi pengetahuan bagi masyarakatnya. Tidak mengherankan apabila misalkan bagi sebagian seniman dan pengrajin tradisional di Bali, masyarakat dibebaskan untuk mereproduksi dan menyebarkan karya seni ataupun kerajinan yang dihasilkan untuk kepentingan bersama. Hal ini kurang lebih senada dengan konsep kagunan atau darma tadi. Namun sayangnya konsep mengenai kagunan atau darma kemudian harus berseberangan dengan gagasan tentang HKI seperti yang kita lihat pada kasus ditangkapnya seorang pengrajin di Bali karena dituduh membajak desain karya kerajinan sebuah perusahaan asing yang kebetulan memproteksi sebuah karya desain kerajinan perak Bali yang sudah turun temurun diwariskan di kalangan masyarakat Bali.
Info tentang hal ini bisa dibaca di halaman http://kompas.com
Dalam perkembangan teknologi digital dan kultur media, persoalannya agak berbeda ketika saat ini melalui teknologi digital kebanyakan orang memiliki kemudahan untuk menduplikasi (copy), memodifikasi (sampling) dan menyebarkan (distribute) data digital secara bebas. Tidak mengherankan sempat ada perdebatan di kalangan pengguna internet perihal gagasan untuk memproteksi penyebaran mp3 di jagat maya. Tampaknya mau tidak mau harus diperhatikan kalau isu HKI sebetulnya tidak begitu populer di kalangan pengguna internet, walaupun ada banyak produsen seperti Microsoft yang berkeras untuk memproteksi produk mereka dari pembajakan dan penggunaan secara ilegal.
Terkait dengan perkembangan teknologi digital dan kultur media, tampaknya perlindungan HKI akan terus menjadi bahan perdebatan dan menimbulkan pro-kontra. Saya sendiri sebetulnya belum mengenal konsep HKI yang dikembangkan di Indonesia secara mendalam. Tapi dalam sebuah konferensi yang berjudul “Contested Common/ Trespassing Publics” yang diselenggarakan oleh Sarai Media Initiative pada tahun 2005 di New Delhi, secara eksplisit dinyatakan kalau penerapan HKI di beberapa negara berkembang telah melahirkan konflik dan persoalan di tengah-tengah masyarakat luas.
Info mengenai konferensi di atas bisa diakses di http://www.sarai.net
Barangkali kasus yang bisa dijadikan contoh adalah masalah benih jagung yang dikembangkan oleh Monsanto, sebuah perusahaan agrikultur yang harus berurusan dengan banyak kasus lingkungan dan kesehatan sehingga menjadi bulan-bulanan para aktifis lingkungan dan penentang arus globalisasi. Dalam hal ini barangkali kita perlu juga mendengarkan pandangan yang menyatakan kalau HKI sebetulnya merupakan perpanjangan dari budaya korporasi dan merepresentasikan kepentingan negara maju atau para pemilik modal untuk mengontrol mekanisme produksi informasi dan pengetahuan di seluruh dunia, terutama di negara berkembang. Dalam hal ini saya tidak serta merta menentang HKI. Tapi menurut saya kita perlu kritis dan agak berhati-hati dalam memperkenalkan konsep HKI kepada masyarakat.
Ada kasus menarik dari penyelenggaraan Nu-Substance Helar Festival 2008 yang telah lalu di Bandung. Dalam sebuah sesi presentasi karya software, ada seorang peserta bernama Arry Ardiansyah (http://aradaz.blogspot.com/) yang membuat VST plugin dan membagikan karyanya secara cuma-cuma melalui blog pribadinya. Dalam diskusi dia menyatakan kalau pengguna VST plugin yang dia buat saat ini kurang lebih telah mencapai 20.000 pengguna di seluruh dunia. Untuk Arry, keputusan untuk menyebarkan VST plugin secara gratis terutama disebabkan oleh persoalan etika karena pada dasarnya VST plugin yang dia bikin menggunakan software bajakan dan sumber kode yang dibuat oleh orang lain. Semua sumber kode yang dia gunakan untuk membangun VST plugin ia dapat melalui jaringan internet.
Yang menarik, dengan menyebarkan VST plugin secara gratis, ia juga kemudian mendapat banyak kesempatan untuk berkolaborasi dengan sesama pengembang software di seluruh dunia. Menurut pengakuannya, walau bisa diunduh gratis, dia bisa tetap mendapatkan insentif dari karya VST plugin yang dia buat dengan mendapatkan uang hasil pemasangan google adsense di blog pribadinya. Hal ini menurut saya setidaknya mencerminkan bagaimana teknologi digital dan kultur media telah melahirkan relasi konsumsi-produksi yang baru, dimana setiap pengguna informasi dan pengetahuan di internet dapat bekerjasama alias berkolaborasi untuk menghasilkan karya secara bersama-sama.
Informasi ini menurut saya tentu saja secara gamblang juga memperlihatkan kalau saat ini perkembangan teknologi internet dan kultur media telah melahirkan sebuah formula baru dalam bisnis kreatif. HKI bukan satu-satunya cara untuk memproteksi karya intelektual sehingga seorang pencipta bisa mendapatkan insentif dari karya yang mereka buat. Ada aspek-aspek lain seperti teknologi, kultur dan etika yang juga bisa dikedepankan untuk menghargai karya intelektual seseorang. Oleh karena itu, saya merasa kita perlu untuk memilah-milah secara teliti untuk mengaplikasikan HKI, terutama dalam kaitannya dengan mekanisme produksi dan distribusi informasi maupun pengetahuan di Indonesia.
Tokyo, 12 Oktober 2008
Gustaff H. Iskandar
* Mari terlibat dalam pembicaraan mengenai HKI dalam forum diskusi berikut: