Common Room Networks Foundation kembali melanjutkan komitmennya dalam memperkuat kapasitas masyarakat di wilayah pedesaan melalui pelatihan bertajuk “Pelatihan Pengumpulan Data untuk Akses dan Konektivitas yang Bermakna di Komunitas Pedesaan dan Terpencil di Indonesia” pada Selasa (28/10/2025). Kegiatan ini dilaksanakan di Aula Villa Pebi, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, dengan melibatkan peserta dari berbagai komunitas, relawan digital, dan mitra lokal yang bekerja di sektor pengembangan masyarakat.
Pelatihan ini merupakan bagian dari program untuk memperkuat akses dan konektivitas yang inklusif di wilayah pedesaan dan terpencil di Indonesia. Fokus utama pelatihan adalah “Pentingnya Data yang Valid dalam Pengambilan Keputusan”, terutama untuk memastikan bahwa kebijakan dan program pembangunan benar-benar berbasis pada kebutuhan masyarakat.

Melalui pelatihan ini, Common Room berupaya menanamkan pemahaman kepada peserta tentang bagaimana cara mengumpulkan data secara sistematis dan etis, memvalidasi data agar hasilnya akurat dan dapat dipercaya dan menggunakan data sebagai dasar pengambilan keputusan yang berbasis bukti. Koordinator Program Common Room, Andriani Kesa Alivia menjelaskan bahwa data yang valid bukan sekadar alat administratif, melainkan pondasi penting bagi perencanaan pembangunan yang tepat sasaran.
“Data bukan hanya angka atau catatan di kertas. Data adalah cerminan kehidupan masyarakat. Dari data, kita bisa membaca kebutuhan, hambatan, dan potensi di lapangan,” ujar Kesa.
Dalam sesi pembukaan, Kesa menekankan bahwa validitas data menentukan kualitas kebijakan. “Data yang valid akan mengurangi bias dalam perencanaan, menjamin keputusan berbasis bukti, memperkuat akuntabilitas dan transparansi, serta menentukan efektivitas penggunaan sumber daya,” tegasnya.

Sebaliknya, data yang tidak akurat dapat menyebabkan program salah sasaran, alokasi dana tidak optimal, dan sulitnya mengukur dampak kegiatan. “Validitas data adalah tanggung jawab bersama. Kesalahan kecil bisa berujung pada kebijakan yang tidak berpihak,” tambahnya.
Materi pelatihan juga mengulas dua jenis utama data, yakni data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggambarkan sesuatu dalam bentuk angka misalnya jumlah rumah tersambung jaringan internet atau persentase peningkatan pengetahuan peserta. Sedangkan data kualitatif menghadirkan narasi, pengalaman, dan konteks sosial yang memperkaya pemahaman terhadap data angka.
Kesa menjelaskan, “Keseimbangan antara data kuantitatif dan kualitatif menjadi kunci dalam memahami kondisi komunitas secara utuh, terutama di daerah pedesaan yang memiliki keragaman sosial dan budaya.”
Peserta pelatihan juga diperkenalkan dengan berbagai metode pengumpulan data seperti; survei digital menggunakan Google Form, Kobo, atau ODK, wawancara semi-terstruktur, diskusi kelompok terarah (FGD) dan observasi lapangan untuk menangkap dinamika sosial secara langsung.

Selain itu, pelatihan menekankan pentingnya validasi data melalui beberapa pendekatan seperti Random Sampling yaitu memilih responden secara acak agar hasilnya representatif, Purposive Sampling yaitu memilih responden dengan kriteria tertentu, Triangulasi Data yaitu membandingkan hasil dari berbagai metode, Cross-Check Lintas Sumber yaitu mencocokkan data dengan catatan resmi, dan Validasi oleh Enumerator atau Mitra Lapangan untuk menjaga konsistensi dan etika pengumpulan data.
“Validasi bukan hanya proses administratif, tapi juga bentuk tanggung jawab sosial. Data yang valid berarti kita menghargai suara masyarakat yang ada di balik angka,” jelas Kesa.

Salah satu bagian penting dalam pelatihan adalah memahami peran interaksi tanya jawab dalam proses pengumpulan data. Kesa menegaskan bahwa diskusi atau wawancara tidak boleh dianggap sebagai obrolan biasa, karena dari situlah muncul klarifikasi, interpretasi, dan pemahaman mendalam atas konteks yang sesungguhnya.
Pada akhir sesi hari pertama, peserta diajak untuk melakukan refleksi dan menyusun rencana tindak lanjut berdasarkan pembelajaran yang diperoleh. Mereka diminta menjawab beberapa pertanyaan reflektif, seperti data apa saja yang selama ini dikumpulkan dalam pekerjaan mereka, bagian mana yang masih berpotensi bias atau belum tervalidasi, dan tindakan apa yang bisa segera dilakukan untuk memperbaiki praktik pengumpulan data di komunitas.***

