Program

[Pameran] Dongeng Sebelum Tidur | Pameran Gambar S. E. Dewantoro | Mulai 2 s/d 17 juni 2012

Venue: Common Room, Jl. Kyai Gede Utama no. 8, Bandung
Pembukaan: 2 Juni 2012, pk. 19.00 WIB (Menampilkan pertunjukan dari Darah Rouge & John Heryanto)
Pameran: 2 s/d 17 Juni 2012, setiap pk. 10.00 – 17.00 WIB

Fragmen Kekerasan S. E. Dewantoro
oleh Gustaff H. Iskandar

Diatas kertas putih kita melihat sekumpulan gambar yang semuanya dikerjakan dengan ballpoint berwarna merah dan hitam. Di situ ada tubuh yang dimutilasi, bayi yang merengek, tubuh perempuan yang dibebat, onggokan daging, leleran darah, dsb. Ada banyak bagian renik yang dikerjakan dengan tekun. Memancing kita untuk melihat detail. Di sana ada simbol dan tanda. Selain itu di sana juga ada kumpulan narasi. Jalan masuk menuju sebuah perenungan tentang kekerasan. Setidaknya dari mata S. E. Dewantoro yang biasa kita panggil Mas Gepeng (ttl. Solo, 31 Desember 1972).

Semua gambar ini diberi judul satu per satu. Pada setiap bingkai berwarna putih bersih kita melihat rangkaian gambar yang dibubuhi teks, “Dunia Pertama”, “Di Sudut Suatu Sore”, “Dewi Keadilan”, “Yang Terlahir Dari Rahimnya”, dsb. Seluruhnya ada sekitar dua puluh karya. Garisnya tajam-tajam. Di situ hanya ada warna merah. Tergurat tegas diantara bayangan hitam dan putih. Pada karya berjudul “Dunia Pertama”, kita melihat sesosok bayi yang kepalanya ditutup kotak seperti pesawat TV. Dari dalamnya keluar seekor babi. Bayi ini dirubung TV bergambar dentuman nuklir, celurit, bom, pistol, dsb.

Pada karya berjudul “Di Sudut Suatu Sore”, kita melihat panorama yang terdiri dari anak perempuan dan laki-laki bertopeng api. Anak perempuan memegang garpu di pojokan teras rumah entah siapa. Ujung garpunya tertancap pada perut seekor babi. Sementara pada latar depan laki-laki bertopeng membawa seonggok daging. Entah masih segar atau sudah busuk. Bila dicermati semua judul gambarnya begitu halus, seperti puisi. Namun semua karya ini begitu mengerikan. Di situ ada simbol kekerasan, teror dan ketakutan yang amat sangat. Entah siapa yang mau hidup di dalam dunia yang seperti itu. Namun begitu, barangkali diantara kita ada yang benar-benar hidup di sana.

Mas Gepeng bertutur bahwa gambar ini datangnya dari pengalaman yang sederhana. Kebetulan dia sering belanja daging untuk keperluan kedainya. Hampir setiap hari ia mengamati onggokan daging, lengkap dengan serat otot, lemak, tulang, serta darahnya. Dari situ refleksinya tentang karya-karya ini bermula. Pikirannya bertemu dengan gambaran kenyataan yang begitu bengis dan kejam. Setiap gambar dikerjakan pada waktu luang sebelum tidur, saat dia melepas penat. Mungkin karena itu pameran ini diberi tajuk “Dongeng Sebelum Tidur”. Selain bekerja di kedai dan mengerjakan gambar, Mas Gepeng juga aktif di dunia teater. Dia kerap mengatur tata panggung, pencahayaan, juga terlibat dalam segala hal visualnya. Tak heran bila pada gambarnya kita juga dapat melihat sebuah drama.

Kiranya kita dapat mengamati kumpulan karya Mas Gepeng sebagai kumpulan panggung teater kecil. Di situ ada pertunjukan dan pemandangan yang berisi gambaran imajinasi personalnya. Di sana ada bayang kelam yang menghadirkan kekerasan, teror, rasa takut, dan juga kepasrahan yang mendalam. Pada setiap fragmen gambar bertaut rantai narasi yang menceritakan sejarah kekerasan yang dimiliki oleh manusia. Sambung menyambung, tak terputus ruang dan waktu. Namun begitu pada kumpulan karya ini Mas Gepeng rupanya masih menyelipkan humor. Pada segenap figur manusia yang pipih, gambar babi, pesawat televisi, anak perempuan, bayi, potongan kepala, dsb., kita masih bisa merasakan potongan lelucon ganjil tentang parodi dan ironi kehidupan yang muncul berulang-ulang. Kekerasan itu begitu konyol. Begitu sia-sia. Namun tetap kita lakukan juga. Seperti film kartun.

Kyai Gede Utama, 28 Mei 2012

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *