Ayunan para penari. Foto oleh Idhar Resmadi
Empat orang nenek itu menari-nari dengan sangat agresif. Kulit keriput mereka tidak menggerus semangat mereka untuk menari mengiringi lantunan kawih Sunda yang dialunkan oleh Mang Ayi dan Wa Itok. Suasana malam yang cukup membuat badan menggigil tidak mempengaruhi mereka dan tampaknya malah membuat mereka menari dengan atraktif. Mengayunkan badan ke kanan dan ke kiri, meloncat ke sana ke sini, serta menari lincah gemulai. Padahal usia para nenek tua itu hampir semuanya di atas kepala enam (malah seorang nenek mengaku berusia sekitar 127 tahun). Nyatanya kehadiran mereka membuat penonton terpana dalam kegiatan pembukaan Nu-Substance Festival 2010. Seorang pentolan band metal, Man (vokalis Jasad) tak ihwal ikut terpancing menari bersama mereka.
Mang Ayi. Foto Oleh Idhar Resmadi
Pemandangan tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan dalam pembukaan Nu-Substance Festival 2010 pada Jum’at (9/7) lalu. Dengan mengusung tema “Floating Horizon”, festival ini menyoroti semangat zaman yang dipenuhi dengan ambivalensi dan kontradiksi. Keberadaan Pantun Buhun merupakan salah satu cerminan yang patut kita apresiasi saat ini karena mengandung banyak nilai-nilai kebajikan dan mengandung makna-makna positif untuk ditelaah secara bersama-sama. Pantun buhun adalah salah satu bentuk pertunjukan tradisional yang berkembang di daerah Jawa Barat secara turun temurun. Fungsi utamanya sebagai mepeling (mengingatkan) khalayak untuk mencermati pelbagai kondisi atau atau situasi yang terjadi di sekeliling masyarakat.
Sebagai sebuah masyarakat yang dibesarkan dalam tradisi lisan yang kental, Pantun Sunda adalah salah satu aspek konkret yang tak bisa dikesampingkan dalam tradisi budaya lisan masyarakat Sunda. Pantun Sunda merupakan sebuah seni pertunjukan cerita sastra Sunda lama yang disajikan dalam paparan, dialog, dan nyanyian. Biasanya seni Pantun Sunda ini dimainkan oleh seorang juru pantun dan diiringi kecapi yang dimainkan sendiri. Pola pertunjukan pantun selama ini tidak pernah berubah, mulai dari penyediaan sesajen sebagai simbol dan penutupan dengan mengumandangkan rajah pamungkas.
Untuk gelaran kali ini, dua orang seniman Sunda asal Subang, Mang Ayi dan Wa Itok memamerkan kebolehannya dalam menuturkan cerita dengan lakon “Berhala Gugur” (Fallen Idols). Lakon ini menceritakan tentang perang tak berkesudahan antara si baik melawan si jahat. Kisah ini setidaknya mencerminkan tema festival yang menyoroti kondisi yang ambivalen, terutama dalam konteks perkembangan teknologi, pemberdayaan masyarakat sipil dan lingkungan yang berkelanjutan.
Penampilan Karinding Attack. Foto Oleh Idhar Resmadi
Pada umumnya Pantun Sunda berisi nasihat bagi manusia agar kehidupannya bisa lebih baik. Agar selalu ingat pada Tuhan dan leluhurnya. Tidak jarang juga jika Pantun dijadikan wahana kritik terhadap masalah sosial dan politik. Tak ayal, dalam beberapa bagian ceritanya Mang Ayi dan Wa Itok bercerita soal korupsi yang menyesengsarakan rakyat, penyelundupan beras miskin (raskin), hingga kondisi politik yang kacau balau dan membuat rakyat yang selalu menjadi korban. Kedua seniman ini memasukan lelucon-lelucon yang selalu ditimpali oleh para penonton dan biasanya berhasil membuat penonton tertawa terbahak-bahak.
Mang Ayi dan Wa Itok mendongengkan cerita dalam tiga babak. Acara yang dimulai sekitar pukul delapan malam ini berakhir hingga hampir tengah malam. Sebelumnya pertunjukan pantun dibuka oleh penampilan Karinding Attack. Sekitar delapan orang pemuda berbaju hitam dengan kepala dibingkai iket Sunda tampil di altar dan melantunkan beberapa komposisinya. Karinding Attack juga adalah salah satu contoh konkret perkembangan wacana menyoal glokalisasi secara signifikan. Glokalisasi atau bisa disebut akronim dari globalisasi-lokal adalah sebuah wacana yang menyerempet persoalan seni, budaya, dan sosial tentang perpaduan atau percampuran antara budaya/ nilai barat (global) dengan nilai-nilai lokal.
Hal ini misalnya bisa kita simak dari perbauran nama “Karinding” sebagai salah satu alat musik tradisi sunda dengan paduan kata “Attack” yang diambil dari bahasa Inggris yang memiliki arti “serang”. Beberapa lagu seperti yang dibawakan Karinding Attack malam itu yaitu “Hampura Ma” dan “Wasit Goblog”, merupakan sebuah karya artistik yang mewakili kondisi perasaan masyarakat Bandung saat ini. Beberapa nilai dan makna dalam kandungan lagu-lagu Karinding Attack mencerminkan semangat lokal lewat kritiknya yang membangun. Komposisi-komposisi musik Karinding Attack didominasi oleh alat musik tradisionil Sunda bermaterial bambu macam karinding sebagai instrumen utama, ditambah instrumen-instrumen pengiring seperti toleat, suling, dan celempung.