Feature

[Repost] Menulis Musik Adalah Menulis Tentang Manusia | Oleh M. Taufiqurrahman (http://jakartabeat.net/)

Menulis tentang musik sangatlah mudah. Jadi jangan percaya kepada siapapun yang mengatakan bahwa menulis musik dan jurnalisme musik adalah sesuatu yang mustahil. Siapapun yang mengatakan menulis tentang musik adalah seperti menari demi arsitektur (writing music is like dancing to architecture) sebenarnya sedang menilai keterampilan menulis mereka terlalu tinggi.

Siapa saja bisa menulis tentang musik—dan ini ditunjukkan oleh betapa banyaknya zine, webzines, blogs, Facebook notes, website sampai majalah professional yang mendedikasikan dirinya hanya untuk menulis tentang musik. Yang dibutuhkan tidak banyak. Anda cukup menjadi pecinta musik—dan semua orang adalah pecinta musik—penggemar sebuah atau beberapa kelompok musik, dan anda bisa menjadi penulis yang fasih yang mampu bercerita tentang gitar solo yang menyayat, ketukan drum yang kompleks sampai lengkingan suara yang membahana dari sang vokalis.

Jika anda rajin membaca majalah Spin, NME atau Rolling Stone, tulisan anda bisa menjadi semakin kaya dengan membubuhkan tarikh dari band-band legendaris kesukaan anda, lengkap dengan kata-kata bijak dari sang vokalis atau penulis lirik, siapa yang merancang cover art album legendaris mereka sampai gosip terbaru tentang akan di mana band tersebut akan manggung berikutnya (Sampai pada taraf tertentu kami di Jakartabeat masih harus melakukannya. Pilihan kami terbatas karena beginilah keadaan jurnalisme musik selama hampir 40 tahun terakhir). Dan jika anda sering membaca pitchfork.com, anda bisa banyak menggunakan kata ironi, hip dan “air quote.

Dan jika anda pernah sedikit saja sekolah atau kursus musik, tulisan anda bisa menjadi semakin otoritatif dengan munculnya kata-kata sulit semacam odd time signature, syncopated drum pattern, pizzicato atau Simfoni Kelima Beethoven dimulai dengan tiga G dan E-flat serta referensi-referensi susah yang hanya akan dimengerti oleh teman satu semester anda di sekolah seni. (Kami di Jakartabeat tidak bisa mencegah hal ini untuk terjadi. Kadang seorang penulis memang perlu memberi tahu kepada pembaca bahwa dia punya otoritas penuh atas apa yang sedang dibicarakannya dan dengan mengutip istilah teknis tersebut diharapkan akan semakin kuat kredensial si penulis.)

Namun terus terang itu semua bukan menjadi tujuan utama kami. Bagi kami—atau paling tidak saya—semua itu mengutip Bung Karno hanyalah abu dan bukan api dari musik. Atau mengutip Alex Ross sekali lagi, semua hal di atas adalah hocus pocus, bla bla bla omong kosong tentang musik. Dan tugas kami sebagai penulis itu adalah “try to demistify the art to some extent, dispel the hocus pocus, while respecting the boundless human complexity that gives it life.

Dan inilah yang kemudian membuat menulis musik menjadi tugas yang sulit dan lebih dari hanya sekedar menari tentang arsitektur. Terlalu mudah untuk menulis Kurt Cobain mati karena overdosis atau odd time signature dari The Mars Volta, misalnya ketimbang menulis tentang pengaruh kemenangan Ekonomi Neo-liberal dari era Reagan dalam menghasilkan apatisme yang kemudian membuat kehamilan grunge atau pengaruh sindrom korban incest pada Omar-Rodriquez Lopes bisa menghasilkan musik sesulit The Mars Volta atau segarang At the Drive In.

Menulis musik menjadi sulit bukan karena keharusan untuk meninterprestasikan warna suara atau harmoni dari beberapa instrumen yang berbeda. Menulis tentang musik menjadi sulit karena menulis musik pada akhirnya menulis tentang manusia.

Menulis tentang musik menjadi semakin sulit lagi karena seiring dengan revolusi industri, musik menjadi sesuatu yang politis. Dalam Listen To This, Alex Ross sekali lagi bahwa “sejak pertengahan abad ke 19, audiens secara rutin telah mengadopsi musik sebagai semacam agama sekuler atau politik spiritual, mendedahkan makna dan pesan yang penting namun sekaligus kabur.”

Para pecinta simfoni Beethoven tentu akan segera mengaitkan karya-karya besarnya dengan janji akan kebebasan politik, ini ketika musik klasik masih memiliki elan vital, lama sebelum masuk ke museum.

Wagner dengan Das Judenthum in der Musik, pertanyaan tentang ke-Yahudi-an dalam musik, dengan segera mengkaitkan superioritas ras dengan keagungan musik, apakah kehadiran komposer-komposer Yahudi membawa pengaruh buruk terhadap musik Barat. Tidak mengherankan jika opera-opera Wagner dengan mudah membangkitkan imajinasi para penyair sekaligus demagog (Hitler adalah salah satu fans terbesar Wagner).

Di era yang lebih dekat dengan kita ada The Velvet Underground yang membalikkan punggung terhadap bunga dan cinta dari Pantai Barat Amerika Serikat di pertengahan dekade 1960-an yang kemudian menjadi inspirasi bagi punk New York untuk tidak hanya menolak bunga dan cinta, namun apapun yang ditawarkan oleh kemapanan.

Di Bandung sendiri, musik pernah dan akan selalu dekat dengan politik dimulai dari Shark Move bercerita tentang pogrom terhadap simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), Deddy Dores di Freedom of Rhapsodia dengan semangat anti-pemerintah (Orde Baru) yang sangat libertarian sampai musik perlawanan Homicide semua adalah bukti betapa musik dan politik begitu dekat dan oleh karenanya membuat menulis musik menjadi relatif lebih sulit.

Kami di Jakartabeat.net tidak berpretensi untuk mengatakan bahwa kami telah berhasil melakukanya—mendemistifikasi seni (musik), menguliti omong kosongnya dengan tetap menghargai kompleksitas manusia yang memberinya hidup.

Yang paling jauh bisa kami lakukan adalah, menghargai kompleksitas itu. Dan sebagai bagian dari jurnalisme, namun kami selalu mempertahankan rasa curiga dan kritis terhadap bentuk seni musik apapun yang kami terima. Musik jurnalis memiliki fungsi untuk menjadi pihak pertama yang mengacungkan jari untuk mengajukan pertanyaan. Yang inipun juga menjadi sulit karena dalam ranah musik pop, sangat sulit untuk membedakan menjadi fan dan kritik musik.

Musik—sama seperti hasil kebudayaan yang lain—tidak hadir dari ruang kosong dan apapun yang kami tulis di Jakartabeat sebisa mungkin adalah menyusun kembali, merekonstruksi suasana yang memungkinkan karya seni itu dihasilkan. Analisa Idhar Resmadi tentang Sajama Cut—jika masih bisa saya ingat dengan baik—adalah upaya untuk merekonstruksi Sajama Cut sebagai bagian dari kelas menengah baru di Jakarta yang terbiasa berbicara dengan idiom-idiom musik maupun verbal dari moda produksi kapitalisme global. Atau tulisan Fakhri Zakaria tentang Bangkutaman, tulisan ini juga meletakkan Bangkutaman sebagai kolektif dari individu-individu yang ada pada pusaran zaman serta mobilitas sosial di metropolis di periferi kapitalisme global semacam Jakarta. Dengan cara pandang semacam itu tulisan-tulisan tersebut tentu akan sulit gagal untuk menjadi pisau analisa sosial. Dan anda bisa menemukan banyak contoh tulisan di Jakartabeat.

Dan untuk inipun kami belum tentu dan tidak harus benar. Dalam menulis musik kita dikutuk untuk menjadi “presumptuous in the case of the living and speculative in the case of the dead.” Semua adalah perkiraan dan prakiraan dan seperti analisa sosial yang lain kami bisa menjadi salah. Sepuluh tahun dari sekarang ulasan dan tulisan kami bisa menjadi tidak relevan. Tapi seperti kata Pram, paling tidak kami sudah memberi kesaksian dan hanya itulah yang abadi.

Dan bahkan ketika kami tidak berhasil untuk menyusun kembali teka-teki suasana sosial—yang mungkin memang tidak mungkin mengingat hanya sedikit informasi yang bisa dianalisa dari musik atau produk budaya tertentu—kami tetap tidak perlu terlalu larut dalam hingar-bingar industri pop yang tidak perlu—dan yang pasti di Jakartabeat anda tidak akan menemukan tips untuk bisa menjadi superstar atau band berumur panjang dan makmur.

Dan di atas semua itu, Jakartabeat.net—dan siapapun yang merasa dirinya sebagai musik snob, termasuk saya—tulisan tentang musik, sama dengan mendengarkan dan mencintai musik adalah bukti perayaan akan musik sebagai bentuk kesenian adi luhung. Seberapa adi luhung, saya akan mengutip tulisan ini dengan kutipan dari penulis Daniel J. Levittin, profesor neuro-science yang mantan produser musik itu di buku World in Six Songs:

Music is not simply a distraction or a pastime, but core element of our identity as a species, an activity that paved the way for more complex behaviors such as language, large-scale cooperative undertakings and the passing down of important information from one generation to the next.

*tulisan ini dibuat dalam rangka bedah buku “Like This: Kumpulan Tulisan Jakartabeat 2009-2010” dengan tema “Jurnalisme Musik dan Relevansinya Sebagai Media Kritik Sosial”, Common Room, 16 April 2011

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *