Menguatkan Kepemimpinan Feminis: Inspirasi dan Tantangan dari Lapangan

Newsroom

Menguatkan Kepemimpinan Feminis: Inspirasi dan Tantangan dari Lapangan

Suasana penuh semangat dan solidaritas terasa di Ruang Edelweis, Wisma Hijau, Depok, saat berlangsungnya sesi “Gender and CCCI Module I: Defining the Advocacy Agenda and Developing Key Messages and Inspiring Story of a Feminist/Woman Leader” pada Rural ICT Camp 2025, Kamis (25/9/2025). Sesi yang menghadirkan tiga narasumber utama yaitu Direktur Program ICT Watch Ida Ayu Prasasti Dewi, Gender Regional Coordinator for Asia Local Networks Initiative, Catherine Tiongson serta Pendiri dan Ketua Badan Pengurus Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Nani Zulminarni menjadi ajang penting untuk merefleksikan perjalanan panjang advokasi gender dan kepemimpinan perempuan di tingkat komunitas.

Dalam pembukaannya, Direktur Program ICT Watch Ida Ayu Prasasti Dewi menegaskan pentingnya keberanian untuk speak up dan berekspresi. Ia mengingatkan bahwa menjadi pemimpin feminis berarti berani bersuara atas hal yang diyakini benar serta menjaga kesehatan komunitas agar tetap menjadi ruang aman bagi semua.


Sebelumnya, Manajer Media dan Kerja Sama Common Room, Tisha Amelia melakukan tinjauan terhadap perjalanan sesi-sesi gender di SIK sejak 2024. Ia menyoroti isu-isu krusial seperti minimnya partisipasi perempuan di ranah teknis, kesenjangan generasi, serta kebutuhan untuk melibatkan laki-laki dan kelompok marginal dalam isu kesetaraan.

Tisha juga menekankan bahwa safe space bukanlah bonus, melainkan kebutuhan dasar dalam membangun komunitas inklusif. “Perempuan membutuhkan support system, sementara teman-teman disabilitas perlu aksesibilitas yang spesifik,” ujarnya.

Sesi paling menginspirasi datang dari Pendiri dan Ketua Badan Pengurus Yayasan Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga, Nani Zulminarni. Ia berbagi kisah perjalanan hidupnya sebagai aktivis perempuan sejak 1987, terinspirasi oleh sosok neneknya yang kuat dan penuh kebijaksanaan.


“Bagi saya, nenek saya adalah feminis sejati. Ia tidak melawan secara frontal, tapi membuktikan kekuatannya melalui tindakan nyata,” ujar Nani.

Dalam paparannya, Nani menyoroti tantangan sistemik yang masih dihadapi perempuan di Indonesia, mulai dari budaya patriarki hingga kebijakan publik yang kerap menafikan suara perempuan. Ia menegaskan bahwa kepemimpinan perempuan bukanlah soal jabatan struktural, tetapi tentang peran dan pengalaman hidup yang melahirkan agensi dan empati.

“Kepemimpinan itu nonstruktural. Sumber pengetahuan perempuan adalah pengalaman hidupnya sendiri,” tegasnya.


Secara bergantian peserta sesi yang berasal dari sejumlah SIK di Indonesia menceritakan pengalaman mereka memperjuangkan kesetaraan gender di wilayahnya masing-masing Rukmini Toheke dari SIK Ngata Toro menceritakan perjuangannya mengubah adat yang diskriminatif terhadap perempuan sejak 1994 hingga akhirnya diakui secara sosial. Ada lagi cerita Saraiyah dari SIK Lombok berbagi kisah perjuangannya keluar dari lingkaran patriarki di lingkungan adat yang membatasi ruang gerak perempuan. Sementara itu Revasya dari SIK Ciptagelar mengangkat pentingnya pendidikan setara bagi perempuan di tengah budaya yang masih menolak perempuan untuk kuliah. Lain lagi dengan cerita Komang Sri Indriani dari SIK Bali yang menyoroti beban ganda perempuan dalam sistem adat Hindu, yang menuntut peran ritual tanpa diimbangi dengan pengakuan setara.


Menanggapi hal tersebut, Nani Zulminarni menekankan pentingnya pendekatan negosiasi dan storytelling dalam advokasi di wilayah adat. “Kuncinya bukan konfrontasi, tapi dialog yang membangun kesadaran bersama,” tuturnya.

Melalui sesi interaktif yang dipandu Gender Regional Coordinator for Asia Local Networks Initiative, Catherine Tiongson peserta diajak mengisi Tenets of Feminist Leadership Questionnaire. Pertanyaan-pertanyaan seputar kepemimpinan kolektif, akuntabilitas, empati, dan keseimbangan kekuasaan memantik refleksi mendalam tentang praktik kepemimpinan sehari-hari.


Dari hasil diskusi dan kuesioner, peserta menyepakati bahwa pelatihan gender berikutnya perlu melibatkan laki-laki sebagai bagian dari upaya bersama menghapus patriarki. Selain itu, dibutuhkan penguatan literasi digital yang peka gender, pelatihan advokasi kebijakan, serta pengelolaan komunitas berbasis nilai-nilai kesetaraan.

“Empati dan kesetaraan adalah inti dari kepemimpinan,” tegas Catherine.***

Share Article

Berita Terbaru

Newsroom

Berita dan pembaharuan terbaru
langsung dari Common Room.

Menguatkan Kepemimpinan Feminis: Inspirasi dan Tantangan dari Lapangan
This website uses cookies to improve your experience. By using this website you agree to our Privacy Policy.
Read more