Ruang aman menjadi salah satu pilar penting dalam menciptakan lingkungan yang inklusif, setara, dan bebas dari diskriminasi. Dalam konsep Community-centered Connectivity Initiatives (CCCI) yang berlandaskan prinsip feminis, ruang aman tidak hanya melindungi individu dari ancaman fisik dan emosional, tetapi juga menjadi sarana untuk memberdayakan komunitas, khususnya kelompok yang rentan terhadap marjinalisasi.
Pada lokakarya CCCI yang diikuti 11 perwakilan dari 11 jaringan Sekolah Internet Komunitas (SIK) di 10 provinsi di Indonesia ini, Gender Regional Coordinator for Asia Local Networks Initiative, Catherine Tiongson menyampaikan materinya mengenai Prinsip Internet Feminis, “ Setidaknya terdapat 17 poin mengenai prinsip ini yang hadir untuk memastikan bahwa ruang digital menjadi tempat yang mendukung kebebasan berekspresi, keadilan gender, dan kesetaraan hak,” tutur Catherine.

Menurut Catherine, setiap orang, termasuk perempuan dan kelompok queer berhak untuk mendapatkan akses terhadap penggunaan teknologi, informasi dan internet sebagai sarana untuk mendukung kreativitas, ekspresi diri, dan perlawanan terhadap diskriminasi. Prinsip internet feminis juga harus mampu mendorong partisipasi publik dan gerakan sosial. “Internet bisa menjadi ruang untuk melawan patriarki, lebih jauh gerakan feminis di dunia digital bertujuan menciptakan ruang politik transformatif yang memungkinkan semua orang mengklaim dan mengekspresikan identitas gender dan seksualitasnya, serta menuntut akuntabilitas dan transparansi. Keterlibatan perempuan dan kelompok queer dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan internet sangat penting,” lanjut Catherine.
Prinsip feminis internet yang lainnya adalah mendukung ekspresi dan kebebasan berpendapat. Catherine menuturkan internet dapat menjadi alat untuk mengangkat narasi perempuan dan realitas hidup mereka, melawan kekuatan yang berusaha membungkam suara feminis. “Setiap orang berhak mengendalikan data pribadinya di semua level dan menolak pengawasan yang digunakan untuk mengontrol tubuh, ucapan, dan aktivisme perempuan,” tambah Catherine.

Dalam prinsip feminis internet, penggunanya berhak mengatur dan menghapus data pribadi mereka secara permanen agar terhindar dari penyalahgunaan data oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Catherine juga menuturkan, “Hak untuk tetap anonim harus dilindungi sebagai bentuk kebebasan berekspresi dan perlindungan dari diskriminasi”.

Salah seorang peserta SIK Sumba Barat Daya, Aurea Imelda Mone berbagi kisah mengenai bagaimana menciptakan ruang aman yang mengusung konsep feminis internet, “Kami bekerja dengan salah satu organisasi kesusteran, membangun rumah singgah untuk para penyintas kusta. Melalui rumah tersebut kami memberikan edukasi pada orang-orang agar tak mengucilkan para penyintas kusta. Sebisa mungkin kami memberikan pemahaman pada orang-orang agar tidak menunjukkan gestur takut pada penghuni rumah singgah, agar mereka tetap merasa aman dan nyaman. Hal ini bisa terus berjalan jika internet digunakan secara bijak untuk menyampaikan informasi agar tidak lagi terjadi diskriminasi,” pungkas Aurea.***