Membangun Komunikasi Antar Pribadi yang Bermakna untuk Data yang Valid

Newsroom

Membangun Komunikasi Antar Pribadi yang Bermakna untuk Data yang Valid

Di hari terakhir “Participatory Data Collection Project 2025” Kamis (30/10/2025), peserta mendapatkan materi bertajuk Komunikasi Antar Pribadi yang disampaikan oleh Direktur Eksekutif ICT Watch, Indriyatno Banyumurti dan dipandu oleh Program Officer ICT Watch, Siti Shofiyah Rohmah di Aula Villa Pebi, Ciracap, Sukabumi. Sesi ini menjadi ruang belajar bersama bagi para peserta untuk memahami pentingnya komunikasi dalam proses pengumpulan data. Bukan hanya soal bertanya dan mencatat, tetapi juga tentang bagaimana mereka membangun kedekatan dan rasa percaya dengan masyarakat di pedesaan maupun wilayah terpencil.

Menurut Indriyatno Banyumurti, komunikasi merupakan jembatan utama yang menentukan apakah masyarakat mau membuka diri dan berbagi informasi secara jujur. “Kalau pagar masih berdiri kokoh, percuma kita bicara panjang lebar,” ujarnya, mengingatkan bahwa sebelum mengajukan pertanyaan, seorang enumerator harus terlebih dahulu membuka pagar kepercayaan dan membangun kedekatan dengan warga.


Indriyatno menegaskan bahwa dalam konteks pengumpulan data, komunikasi bukan sekadar berbicara, tetapi juga mencakup kemampuan mendengarkan dan memahami. Banyak hambatan komunikasi muncul karena pengumpul data tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi sosial dan budaya masyarakat setempat. “Orang bukanlah gelas kosong yang bisa diisi sesuka kita,” jelasnya.

Menurutnya, keberhasilan pengumpulan data ditentukan oleh “bagaimana kita hadir sebagai manusia yang mau mendengarkan, bukan sekadar pencatat jawaban.” Pendekatan yang humanis inilah yang menjadi kunci agar data yang dikumpulkan lebih akurat dan bermakna.

Dalam sesi pelatihan, peserta diajak memahami berbagai teknik membangun keakraban dengan warga, mulai dari hal sederhana seperti menggunakan nama lawan bicara secara konsisten. “Nama bukan sekadar identitas, tetapi juga harapan, cita-cita, dan pengalaman hidup seseorang. Memanggil dengan nama membuat otak beraktivasi dan hati tersentuh,” ujar Indriyatno.

Ia juga menekankan pentingnya menggunakan nama anak ketika berbicara dengan orang tua, karena hal itu mengingatkan mereka pada peran yang penuh kasih dan tanggung jawab. “Dengan begitu, hubungan emosional akan lebih cepat terbangun,” tambahnya.


Selain itu, komunikasi non-verbal seperti kontak mata, senyuman, dan nada suara yang lembut juga memiliki pengaruh besar. “Non-verbal bicara lebih kencang ketimbang verbal,” tegas Indriyatno. Dalam berinteraksi, pengumpul data harus mampu membaca bahasa tubuh, menjaga jarak yang nyaman, dan selalu menunjukkan ketertarikan yang tulus pada lawan bicara.

Pelatihan ini juga menyoroti pentingnya obrolan informal sebagai pembuka komunikasi. Dengan mencari topik ringan yang membuat warga nyaman, pengumpul data dapat membangun suasana santai yang mendukung keterbukaan.

Indriyatno memberi contoh, “Kadang bukan pertanyaan besar yang membuka percakapan, tapi sapaan sederhana atau perhatian kecil yang tulus.” Dalam praktiknya, hal-hal kecil seperti membantu anak memakai sandal atau menanyakan kabar keluarga dapat menjadi “simpul” yang memperlancar komunikasi.

Ia menyebut konsep ini sebagai “pertolongan kecil tapi cepat”, yang maknanya sangat besar dalam menciptakan rasa percaya. “Di masyarakat, perhatian kecil sering kali lebih berharga daripada kata-kata panjang,” katanya.


Selain berbicara, kemampuan mendengarkan aktif juga menjadi pondasi utama. Indriyatno menegaskan bahwa mendengarkan bukan berarti diam, tetapi aktif menyimak, menandai hal penting, dan menanyakan kembali hal yang belum jelas. “Tugas komunikator bukan hanya membuat orang bicara, tapi juga memastikan kita benar-benar memahami apa yang mereka maksud,” ujarnya.

Ia memperkenalkan konsep D-A-K: Dengarkan, Apresiasi, Klarifikasi, yang dapat membantu pengumpul data menjaga hubungan komunikasi yang sehat dan produktif. Pertanyaan terbuka juga disarankan agar partisipan bisa bercerita panjang lebar, sementara pertanyaan tertutup digunakan untuk memperjelas atau menegaskan jawaban.

“Kalau ingin orang berbicara banyak, gunakan pertanyaan terbuka. Tapi jangan lupa, setiap pertanyaan harus diiringi empati dan penghargaan,” tutur Indriyatno.


Pelatihan ini juga mengajarkan pentingnya apresiasi dan penghormatan terhadap partisipan. Dengan menyoroti kekuatan dan kelebihan mereka, pengumpul data akan lebih mudah membangun suasana positif. “Apresiasi bukan berarti memuji tanpa dasar, tapi menunjukkan bahwa kita benar-benar menghargai pengalaman dan pendapat mereka,” jelas Indriyatno.

Ia mengingatkan agar para enumerator selalu menjaga etika komunikasi dengan berbicara dengan sopan, menjelaskan tujuan pengumpulan data dengan bahasa yang mudah dipahami, meminta izin sebelum mencatat atau merekam, dan menutup percakapan dengan menyampaikan tindak lanjut yang jelas.


Di akhir sesi, Indriyatno Banyumurti menegaskan kembali bahwa kualitas data tidak hanya bergantung pada instrumen survei, tetapi juga pada interaksi yang dibangun dengan masyarakat. “Data yang valid dimulai dari komunikasi yang baik,” ujarnya menutup pelatihan.

Baginya, komunikasi yang baik bukan hanya strategi, tetapi bentuk penghargaan terhadap manusia sebagai sumber pengetahuan. Dengan membangun komunikasi yang hangat, jujur, dan saling menghormati, proses pengumpulan data di komunitas pedesaan tidak hanya menghasilkan angka, tetapi juga memperkuat hubungan sosial yang menjadi pondasi dari akses dan konektivitas yang bermakna di Indonesia.***

Share Article

Berita Terbaru

Newsroom

Berita dan pembaharuan terbaru
langsung dari Common Room.

Membangun Komunikasi Antar Pribadi yang Bermakna untuk Data yang Valid
This website uses cookies to improve your experience. By using this website you agree to our Privacy Policy.
Read more