Sesi bertajuk “Kewirausahaan Sosial Mikro: Review Produk dan Praktik Hands-on” menjadi salah satu agenda penting dalam kegiatan Rural ICT Camp 2025 yang digelar di Ruang Edelweis, Wisma Hijau, Depok, Jumat (26/9/2025). Sesi ini difasilitasi oleh Direktur Bina Swadaya Konsultan, Ana Budi Rahayu dan Sekretaris Eksekutif Bina Trubus Swadaya, Emilia Setyowati untuk menggali praktik nyata kewirausahaan sosial dari komunitas akar rumput.
Ana Budi Rahayu mengawali diskusi dengan memperkenalkan tiga istilah penting yaitu Social Entrepreneurship adalah pendekatan kewirausahaan untuk memecahkan masalah sosial, Social Entrepreneur adalah individu dengan visi untuk membawa perubahan sosial, dan Social Enterprise adalah lembaga atau unit usaha yang menggabungkan nilai sosial dan bisnis.

Mengutip pemikiran Bill Drayton, pendiri Ashoka Foundation, Ana menekankan dua aspek penting dalam kewirausahaan sosial yaitu inovasi sosial dan peran individu.
“Kewirausahaan sosial harus lahir dari semangat perubahan, bukan sekadar tren. Individu di baliknya harus memahami masalah sosial dan mitra yang mereka dampingi,” ujarnya.
Diskusi berkembang menjadi ruang berbagi pengalaman antar komunitas. Ajir dari SIK Pulo Aceh menceritakan bagaimana koperasi nelayan di desanya mencoba mengatasi fluktuasi harga ikan melalui pendekatan koperasi sosial, meski menghadapi tantangan besar di sisi pemasaran. Sementara Aurea dari SIK Sumba Barat Daya membagikan kisah tentang BLK Don Bosco, lembaga pelatihan yang juga memproduksi mebel dan pertanian bibit lokal, namun masih terkendala akses pasar. Ada lagi Saraiyah** dari SIK Lombok yang menuturkan praktik budidaya udang organik oleh kelompok perempuan yang ia dampingi, yang tidak hanya menggerakkan ekonomi lokal, tetapi juga membantu mengurangi kasus stunting melalui konsumsi protein laut.

Semua kisah tersebut menunjukkan bahwa kewirausahaan sosial tidak hanya soal keuntungan, tetapi juga tentang bagaimana sebuah usaha dapat mengatasi persoalan sosial dan lingkungan di komunitasnya.
Ana melanjutkan pemaparannya tentang Bina Swadaya, lembaga yang telah bertransformasi dari NGO menjadi social enterprise. Pendekatan lembaga ini selalu berlandaskan pada social development sebagaimana dirumuskan oleh PBB, yaitu menghapus kemiskinan, menciptakan pekerjaan produktif, dan membangun integrasi sosial.
Social enterprise idealnya didirikan untuk memecahkan masalah sosial, menggunakan mekanisme pasar untuk keberlanjutan, menerapkan inovasi sosial, menjaga produksi ramah lingkungan, dan menekankan akuntabilitas terhadap seluruh pemangku kepentingan.
“Kami dulu NGO murni, tapi untuk bisa mandiri kami membentuk unit usaha. Setiap bisnis yang dijalankan harus punya dampak sosial nyata,” jelas Ana.
Peserta kemudian diajak memahami tantangan yang dihadapi wirausaha sosial, mulai dari keterbatasan modal, kapasitas produksi yang kecil, kesulitan memperoleh pendanaan hibah, hingga minimnya keterampilan manajerial.

Setelah sesi teori, Emilia Setyowati memandu peserta dalam praktik hands-on menggunakan Social Business Model Canvas. Ia menjelaskan bahwa model bisnis sosial memiliki 12 blok analisis, yang membantu pelaku usaha memahami siapa pelanggan mereka, nilai tambah produk yang ditawarkan, alur distribusi dan hubungan dengan pelanggan, serta bagaimana menciptakan keberlanjutan finansial tanpa mengorbankan misi sosial.
Melalui diskusi kelompok, peserta memetakan model bisnis komunitas masing-masing , mulai dari usaha udang organik di Lombok, produksi minyak sereh di Sumba, hingga pembuatan merchandise adat di Ciptagelar.
“Bisnis sosial itu bukan sekadar jualan. Intinya adalah kontinuitas, memahami pasar, dan tetap berpihak pada masyarakat,” tegas Emilia.
Para peserta menyadari bahwa keberhasilan usaha sosial tidak semata-mata ditentukan oleh modal, tetapi oleh kemampuan untuk berkolaborasi, membaca peluang pasar, dan berinovasi secara sosial. Sejalan dengan ini diperlukan semangat kolektif untuk memperkuat ekosistem wirausaha sosial berbasis komunitas di Indonesia.***

