Kuliah Jalanan Bersama Hikmat Darmawan: Aspek-Aspek Budaya Pop
Sabtu, 23 Maret 2013; pk. 10.00 – 12.00 WIB
Common Room, Jl. Muararajeun no. 15
Pengantar
Kuliah Jalanan adalah kegiatan yang digagas oleh Hikmat Darmawan, seorang pakar komik dan pengamat budaya populer yang juga dikenal sebagai seorang penulis lepas. Kegiatan ini merupakan salah satu upaya untuk mendukung terjadinya proses produksi dan distribusi pengetahuan secara langsung di tengah-tengah khalayak luas. Bentuk dari kegiatan Kuliah Jalanan adalah kuliah umum dengan subjek spesifik yang berlangsung selama 1-2 jam. Narasumber akan memberikan ceramah dan memfasilitasi proses tanya jawab sebagaimana kegiatan perkuliahan pada umumnya. Kegiatan Kuliah Jalanan juga dapat berbentuk obrolan tentang subjek tertentu yang sangat khusus, selama 5-7 menit di ruang publik. Seluruh kegiatan Kuliah Jalanan terbuka luas untuk publik secara gratis.
Hikmat Darmawan sempat mengecap pendidikan di FISIP UI jurusan komunikasi dan bekerja sebagai penulis lepas untuk berbagai media massa. Ia juga dikenal sebagai sosok yang aktif dalam berbagai kegiatan budaya di Indonesia, serta ikut mengelola lembaga Musyawarah Burung dan Akademi Samali. Di sela-sela aktivitasnya ia bekerja sebagai editor untuk http://rumahfilm.org. Pada periode 2010-2011 ia menerima Asian Public Intellectual (API) fellowship untuk melakukan penelitian identitas nasional pada gambar komik di 3 negara, yaitu Jepang, Thailand dan Indonesia.
Bahan Kuliah & Diskusi: Aspek-Aspek Budaya Pop
Budaya Pop kini banyak didekati secara mendua oleh Studi Kebudayaan: di satu sisi, diterima sebagai kenyataan modern bahkan late-modern yang tak bisa dibantah; di sisi lain, dicaci oleh teori-teori kritis (lama) sebagai anak kandung Kapitalisme yang memberi kesadaran palsu bagi massa.
Dalam kesempatan ini Hikmat Darmawan akan melakukan semacam “kritik-positif” terhadap Budaya Pop. Kritik ini tak ingin sekadar jadi sebuah “penyingkapan ideologis” seperti kritik-kritik lawas terhadap Budaya Pop. Kritik ini juga tak ingin bersikap negatif dalam arti menampik Budaya Pop, atau bersikap menihilkan makna Budaya Pop bagi manusia modern.
“Kritik-Positif” terhadap Budaya Pop lebih merupakan pengembangan dari pembacaan John Fiske terhadap Budaya Pop. Fiske memandang Budaya Pop sebagai lakon penciptaan makna yang berperan sebagai gerilya perlawanan terhadap Kapitalisme yang telah melembaga dan meraksasa dalam dunia late-modernism kini. “Positif” di sini tak bermakna afirmatif (sekadar menyetujui atau mendukung kehadiran Budaya Pop), tapi lebih bermakna kehendak mencipta peluang perlawanan terhadap status-quo lewat Budaya Pop.
Pengembangan pembacaan Fiske itu dipecah menjadi empat pembacaan aspek-aspek Budaya Pop: Aspek Makna, Aspek Struktural, Aspek Media, dan Aspek Seksualisasi Budaya Pop. Pemahaman terhadap keempat aspek itu diharapkan akan membentuk sebuah gambaran yang lebih lengkap, utuh, dan mendekati kenyataan budaya saat ini.
Aspek Makna. Salah satu salah kaprah umum dalam kajian kritis terhadap Budaya Pop adalah meremehkan kapasitas pemaknaan dalam konsumsi Budaya Pop. Para konsumen Budaya Pop dibayangkan sebagai massa yang tak punya individualitas dan takluk sepenuhnya pada kekuatan Kapital yang mencipta produk-produk budaya popular. Menurut Fiske, Budaya Pop adalah justru sebuah medan pemaknaan yang dinamis. Konsumen Budaya Pop tak sepenuhnya pasif, bahkan bisa dengan aktif memaknai ulang produk-produk budaya popular yang mereka konsumsi. Tapi, a-(p)-dakah tujuan (purpose) dari konsumsi dan pemaknaan itu?
Aspek Struktural. Produk-produk budaya popular tak pernah lahir begitu saja. Konteks produk-produk seperti film, musik, mode, juga limpahan benda-benda pritilan yang mengisi hidup manusia modern (dan urban) selalu bermula dan berakar dari sejarah industrialisasi. Sejarah tersebut kini semakin kompleks, ketika modernisasi dan kapitalisme sudah mencapai tahap lanjut. Di dalam lakon konsumsi yang dinamis itu, salah satu yang sering luput dibicarakan, malah kadang dilupakan sepenuhnya, adalah the spectre of class struggle (siluman perjuangan kelas). Bagaimana “siluman” itu menjadi peluang dinamisasi Budaya Pop?
Aspek Media. Dalam dinamika pemaknaan Budaya Pop, media berperan penting dalam merekonstruksi sebuah kenyataan tertentu di kalangan penikmat Budaya Pop. Media juga telah jadi Korporasi, yang kadang menjadi saingan Negara dalam berusaha mengendalikan atau menguasai konstruksi kenyataan para warga (citizen)/konsumen. Apakah perkembangan teknologi media terkini bisa membalik proses kekuasaan tersebut?
Aspek Seksualisasi. Ketubuhan adalah sesuatu yang ada di mana-mana dalam medan pemaknaan Budaya Pop, tapi juga tak selalu dianggap ada. Padahal jelas terasa belaka, ketubuhan dalam bentuk seksualisasi (baik dalam pengertian pengelaminan, erotisasi, sampai ke pornografisasi) adalah bagian penting dalam produksi dan konsumsi Budaya Pop. Seksualisasi menerbitkan kepelikan moral dalam makna positif: seksualisasi jadi salah satu kritik paling modern terhadap rezim moral tradisional. Tapi, di samping kapasitas kritisnya, apakah seksualisasi dalam Budaya Pop juga telah menjadi rezim baru yang problematik?