Konektivitas Bermakna: Membangun Ketahanan Iklim dengan Teknologi

Newsroom

Konektivitas Bermakna: Membangun Ketahanan Iklim dengan Teknologi

Perubahan iklim telah menjadi ancaman nyata bagi keberlangsungan hidup manusia. Frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir, kekeringan, dan badai semakin meningkat. Di tengah tantangan ini, teknologi kecerdasan buatan (AI) muncul sebagai harapan baru untuk membangun ketahanan iklim. Bagaimana konektivitas yang bermakna dapat memberdayakan masyarakat untuk menghadapi perubahan iklim?

Topik ini menjadi fokus pembahasan di Diskusi Publik “Konektivitas Bermakna dan Ketahanan Iklim” yang digelar di Rural ICT Camp 2024 hari kedua di Balai Konservasi Penyu Pangumbahan, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa, 8 Oktober 2024.

Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, dalam sembulan tahun terakhir telah terjadi peningkatan suhu secara signifikan. Pada 2023, suhu rata-rata mencapai 27,2 derajat celcius. Pada tahun itu juga terdapat efek El Nino. Curah hujan berkurang, sehingga cuaca menjadi lebih panas. 


“Ini jadi alarm buat kita. Tidak hanya untuk beradaptasi, tapi juga untuk mitigasi,” kata Mugni mewakili BMKG.

Ia mengatakan, jika tidak ada upaya yang berarti untuk mengatasi perubahan iklim ini, risiko bencana akan meningkat 1,5 kali lipat. Risiko kekeringan bahkan bisa meningkat sampai 4 kali lebih besar.

Perubahan iklim akan berdampak besar pada ekonomi. Ia menyebut, orang yang mengungsi akibat iklim jumlahnya tiga kali lebih besar dari perang.

BMKG sebagai penyedia informasi iklim, cuaca, dan gempa melakukan berbagai usaha untuk menyiapkan masyarakat. BMKG membuat Sekolah Lapang Iklim. Tujuannya melatih petani memanfaatkan data BMKG untuk membuat strategi pertanian.

Dari sisi teknologi, BMKG membuat aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat luas. Aplikasi BMKG ini memiliki fitur terkait prediksi iklim, peringatan dini bencana, selain informasi cuaca lainnya.

“Bagi kami, konektivitas ini bermakna ketika informasi BMKG ini bisa sampai dan menjadi aksi (masyarakat),” katanya.

AI Advisor FAIR FORWARD dari GIZ Indonesia, Karlina Octaviany, mengatakan teknologi kecerdasan buatan (AI) hadir denga mereplikasi proses pengambilan keputusan manusia. Sehingga teknologi bisa membuat keputusan yang independen dan lebih cepat.


FAIR FORWARD merupakan program yang diinisiasi oleh GIZ (German Agency for International Cooperation). Proyek Fair Forward – Artificial Intelligence for All ini merupakan inisiatif yang bertujuan untuk mempromosikan penggunaan AI yang terbuka, inklusif, dan berkelanjutan.

FAIR FORWARD mengembangkan model pembelajaran mesin yang dapat diterapkan pada berbagai masalah pembangunan. Misalnya dimanfaatkan untuk melindungi hutan. AI digunakan untuk mengumpulkan data lapangan hutan tropis. “Ini bisa jadi masukan untuk pemerintah kalau lahan mau digunakan atau mau dibangun. AI bisa mengenai apakah hutan atau lahan itu masih sama atau tidak,” tutur Karlina.

Teknologi lain yang dikembangkan ialah pemrosesan bahasa alami. Pengembangan teknologi untuk memahami dan memproses bahasa daerah. Saat ini sedang mengumpulkan kosa kata dalam data Bahasa Bugis, Minangkabau, dan Bali. “Ini bisa dipakai untuk mendeteksi hoaks yang disebarkan dalam bahasa daerah,” katanya.

Selain itu, FAIR FORWARD juga mendorong pemakaian AI yang beretika. Pelatihan tentang etika AI dilakukan di lembaga pemerintahan. “Yang membedakan pelatihan di Indonesia adalah memasukkan unsur gender dan disabilitas,” katanya.

Ia berharap, bisa tercipta teknologi buatan Indonesia yang menggunakan sensor dan platform buatan dalam negeri. Saat ini GIZ membantu mengembangkan weather station dengan menggunakan sensor untuk mengukur berbagai parameter yang dibutuhkan nelayan di maros dan Pulau Aceh.

“AI itu bukan sesuatu yang datang dari masa depan. Sudah ada saat ini, bahkan sudah kita gunakan. Makanya cara mudah untuk membuat masyarakat memahami AI ya dengan menunjukan dan mencobanya langsung,” katanya.

Heru Tjatur mewakili ICT Watch mengatakan, transformasi digital sebagian memberikan manfaat kepada masyarakat, tapi sebagian lagi menghancurkan apa yang sudah dibangun.


Pengetahuan di masyarakat yang sudah terbangun, bisa hilang lantaran informasi baru yang semakin mudah diakses dengan teknologi. “Dampaknya adalah tsunami informasi yang sangat besar. Sehingga kita tidak ingat informasi yang bermakna ini apa,” katanya.

Memaknai konektivitas yang kini semakin mudah dengan teknologi diharapkan bisa dimanfaatkan dengan baik oleh komunitas. Komunitas menjadi lebih mudah terekspos dan mendapatkan apa yang mereka butuhkan.

Saat konektivitas internet giat dilakukan, muncul judi online, penipuan online yang memakan banyak korban. “Akan selalu ada dampak dari transformasi teknologi, tapi semoga kita bisa membangun lagi apa yang sudah hancur itu,” katanya.

Caranya, tidak lain dengan literasi digital. Meskipun literasi digital akan selalu terlambat dibandingkan dengan perkembangan teknologi, upaya itu harus terus dilakukan. “Orang jahat akan selalu memanfaatkan selama orang lain tidak tahu. Maka itu kita butuh kesadaran sosial bersama,” katanya.***

Share Article

Berita Terbaru

Newsroom

Berita dan pembaharuan terbaru
langsung dari Common Room.

Konektivitas Bermakna: Membangun Ketahanan Iklim dengan Teknologi
This website uses cookies to improve your experience. By using this website you agree to our Privacy Policy.
Read more