Pada gelaran Lokakarya Community-centered Connectivity Initiatives (CCCI) tentang Kebijakan, Layanan Lokal Berperspektif Gender, dan Kewirausahaan Sosial oleh Common Room pada Rabu (6/8), sebanyak 11 perwakilan dari 11 jaringan Sekolah Internet Komunitas (SIK) di 10 provinsi di Indonesia ini mengikuti diskusi panel bersama Supervising Programs and Development Cooperation Specialist Institute for Social Entrepreneurship in Asia, Gomer Padong.
Dalam materinya, Gomer menyampaikan, “Kewirausahaan sosial telah menjadi fenomena global yang menawarkan solusi inovatif terhadap permasalahan sosial. Di negara-negara berkembang di Asia, peran kewirausahaan sosial semakin krusial dalam mengatasi kemiskinan, ketimpangan, dan berbagai tantangan pembangunan,” ujarnya.

Kewirausahaan sosial berkembang dari respons terhadap krisis, di Amerika Serikat pada 1970–1980-an ketika pemotongan dana federal memengaruhi organisasi nirlaba, mendorong strategi berbasis pasar dan penerapan prinsip bisnis untuk memecahkan masalah sosial. Sementara di negara berkembang, krisis pembangunan yang berkelanjutan, kemiskinan, ketimpangan, serta kegagalan lembaga negara dan pasar sejak 1980-an memunculkan Social Enterprises with the Poor as Primary Stakeholders (SEPPS).
Gomer menyampaikan, “Berdasarkan laporan Global State of Social Enterprises pada 2024, ciri utama kewirausahaan sosial beberapa diantaranya adalah mengutamakan tujuan sosial di atas keuntungan, menciptakan solusi inovatif bernilai ekonomi, sosial, dan lingkungan, beroperasi di berbagai sektor seperti pertanian, teknologi informasi, kesehatan, dan keuangan. Namun, masih kurangnya kesadaran publik, regulasi yang lemah, dan akses pembiayaan terbatas terhadap kewirausahaan sosial”. Sementara itu, berdasarkan laporan British Council pada 2017, Gomer mengatakan jika terdapat sekitar 342.000 usaha sosial di Indonesia dengan skala aset bervariasi dari mikro hingga besar. Bentuk hukumnya pun bervariasi yaitu PT, yayasan, koperasi, asosiasi, CV, organisasi nonformal, hingga organisasi non pemerintah.

“Konsep Social Enterprises with the Poor as Primary Stakeholders (SEPPS) memiliki tiga pilar yaitu organisasi dengan misi sosial, fokus utama pada pengentasan kemiskinan, melibatkan masyarakat miskin sebagai pekerja, pemilik, atau mitra. Kedua adaah organisasi penghasil kekayaan adalah penyedia barang/jasa dengan orientasi keberlanjutan ganda atau tiga dimensi (sosial, lingkungan, finansial). Terakhir adalah lembaga filosofi pendistribusian keuntungan yang disalurkan kepada masyarakat miskin, mendukung layanan untuk mengatasi kemiskinan, dan diinvestasikan kembali untuk misi sosial.
Pada diskusi tersebut hadir Direktur Bina Swadaya Konsultan, Ana Budi Rahayu yang menyampaikan mengenai perjalanan Bina Swadaya. “Sejak berdiri pada tahun 1967, Bina Swadaya telah menjadi salah satu pelopor kewirausahaan sosial di Indonesia. Berawal dari gerakan sosial-ekonomi berlandaskan Pancasila pada tahun 1950-an, lembaga ini fokus pada upaya pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat. Seiring waktu, Bina Swadaya bertransformasi menjadi institusi kewirausahaan sosial yang menjangkau berbagai sektor, mulai dari pengembangan pertanian, pembiayaan usaha mikro dan kecil, hingga penerbitan dan penyediaan fasilitas pertemuan,” jelas Ana.

“Salah satu fokus utama Bina Swadaya adalah memperkuat peran perempuan dalam usaha lokal. Hal ini melibatkan pemberian dukungan kepada bisnis yang mempekerjakan lebih banyak perempuan, mengatasi keterbatasan pendanaan melalui kerja sama dengan pihak ketiga, serta memberikan pelatihan dan pendampingan untuk menjaga kualitas dan kesinambungan produksi,” lanjut Ana.
Ana menambahkan, “Hingga kini, Bina Swadaya telah membawa dampak signifikan bagi masyarakat di berbagai bidang, termasuk pengembangan pertanian, pembiayaan usaha mikro, dan lahirnya banyak usaha sosial di berbagai daerah. Keberhasilan ini merupakan hasil dari kombinasi inovasi, adaptasi, dukungan finansial, legalitas, tata kelola yang baik, serta sumber daya manusia yang kompeten dan berbakat,” terangnya.
Di kesempatan yang sama hadir juga Partnership Manager – Karya Masyarakat Mandiri (KMM) Dompet Dhuafa, Dessy Sonyaratri yang menyampaikan mengenai perjalanan Dompet Dhuafa dalam mengembangkan kewirausahaan sosial, khususnya di sektor pertanian. “Bertransformasi dari pengelola zakat murni menjadi organisasi berbasis pemberdayaan masyarakat, Dompet Dhuafa kini mengembangkan diri sebagai Social Enterprise (SE),” papar Dessy.

“Gerakan ini dimulai sejak sekitar 20 tahun lalu dengan membentuk Dompet Dhuafa Corpora untuk mengelola berbagai unit bisnis. Model SE yang diusung bertujuan menjaga keberlanjutan organisasi, memperoleh manfaat ekonomi, dan tetap memberikan dampak sosial bagi masyarakat,” lanjutnya.
Dessy menambahkan jika KMM adalah jejaring kewirausahaan sosial Dompet Dhuafa yang fokus pada layanan pengembangan masyarakat, pendampingan, dan riset terapan untuk perencanaan serta evaluasi program. KMM juga terlibat dalam perdagangan komoditas dengan membangun kemitraan bersama produsen kecil di sektor pertanian, peternakan, dan usaha mikro. “Sejak 2009, KMM mengembangkan Program Pertanian Berkelanjutan di Kabupaten Cianjur yang mencakup wilayah Cibeber, Cipanas, dan Gekbrong. Program ini memperkuat sektor on-farm dan off-farm untuk produk pangan dan hortikultura dengan pendekatan Social Enterprise,” ujar Dessy.
Pada prakteknya, KMM memberdayakan keterlibatan perempuan menjadi salah satu pilar program, dimulai dari tahap budidaya hingga pemasaran. “Perempuan berperan dalam dua aspek utama, pada aspek budidaya perempuan bekerja bersama suami dalam menanam, membersihkan gulma, panen, serta penanganan pasca panen seperti pengeringan, pengemasan, dan sortir beras. Sementara pada aspek pemasaran perempuan aktif memasarkan produk beras dan membantu meningkatkan pendapatan keluarga,” pungkas Dessy.

Di ujung sesi diskusi, Gomer Padong mengatakan, “Kewirausahaan sosial di Asia, khususnya di negara berkembang, merupakan motor penggerak perubahan sosial yang efektif. Dengan menggabungkan inovasi bisnis dan tujuan sosial, para pelaku usaha sosial tidak hanya menciptakan nilai ekonomi, tetapi juga memberdayakan masyarakat, mengurangi kesenjangan, dan membangun fondasi untuk pembangunan berkelanjutan”.***

