Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seringkali diidentikkan dengan teknologi canggih, seperti robot yang sangat pintar. Anggapan ini membuat masyarakat berjarak dengan AI. Padahal, AI sudah sering dijumpai sehari-hari. Tidak hanya sebagai pengguna, masyarakat juga bisa membuatnya.
Pada Rural ICT Camp 2024, dilaksanakan Workshop Internet of Things (IoT) membuat weather station yang bisa dipasang di rumah warga. Workshop ini diikuti oleh 24 peserta. Mereka berasal dari sembilan Sekolah Internet Komunitas (SIK) di delapan provinsi di Indonesia. Kegiatan dilaksanakan di Balai Konservasi Penyu Hijau di Desa Pangumbahan, Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Rabu, 9 Oktober 2024.
Weather station yang dibuat ini mirip dengan yang terpasang di menara bambu pemancar internet yang baru saja diresmikan di Pangumbahan dan Balai Konservasi Penyu. Alat yang terpasang memiliki sekitar 11 sensor dengan fungsi berbeda. Sensor ini mampu mengukur temperatur, kelembapan, curah hujan, tekanan, sinar ultraviolet, arah angin, dan ketinggian awan.
Sensor tersebut dihubungkan dengan internet sehingga bisa mengumpulkan semua data hasil pengukuran. Selanjutnya data dan akan dimanfaatkan oleh para ilmuwan untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
Bedanya, pada workshop ini menggunakan lebih sedikit sensor, yaitu untuk mengukur kelembaban dan temperatur. Komponen yang digunakan antara lain Board ES8266, sensor DHT22, universal project box, kabel jumper, dan kabel AWG 24. Semua bahan ini bisa dibeli melalui marketplace. Software yang digunakan juga menggunakan sumber terbuka yang bisa dimanfaatkan secara gratis.
Salah seorang peserta dari Aceh, Muhajirin mengatakan, ini ilmu baru baginya. Meski sebelumnya sudah belajar teknis, tapi lebih banyak terkait dengan sambungan internet. Baru kali ini belajar tentang sensor. “Ini ilmu yang sangat bermanfaat. Mudah-mudahan bisa mengoprek lagi dan bisa berbagi ilmu dengan adik-adik di Aceh,” katanya.
Bagi Imel peserta dari Sumba juga pertama kali belajar merakit sensor yang memerlukan coding. “Awalnya lancar, tapi di tengah ada instalasi yang kurang sukses meskipun akhirnya berhasil. Ternyata masalahnya di coding, ada kurang tanda sama dengan (=). Ini pelajaran, ternyata satu tanda saja bisa berpengaruh,” tuturnya.
Citizen science
Rois Solihin dari Insan Infonesia mengatakan, Pelatihan pembuatan weather station ini merupakan bagian dari citizen science, yaitu keilmuan yang dikembangkan oleh masyarakat. Dengan cara ini, masyarakat bisa turut serta melakukan pemantauan iklim sendiri dengan biaya yang lebih murah.
Semakin banyak weather station terpasang, semakin banyak pula data yang terkumpul. Dengan mikrodata yang memadai, ilmuwan bisa membuat penelitian ataupun analisa yang lebih rinci. Pada akhirnya semua data tersebut bisa digunakan untuk membantu masyarakat membuat keputusan.
Bagaimana data digunakan tergantung pada siapa yang akan memanfaatkannya. Semakin banyak data, semakin banyak pemanfaatan datanya.
“IoT bukan barang baru. Sekarang IoT digunakan untuk pemantauan lingkungan, pengelolaan energi, sistem peringatan dini bencana dan lain sebagainya. Dulu kita hanya pengguna. Sekarang coba menjadi orang di balik itu,” katanya.
Adviser AI for FAIR Forward GIZ Indonesia Karlina Octaviany mengatakan, AI sering dianggap sebagai teknologi yang datang dari masa depan. Padahal AI sudah ada saat ini, bahkan sudah akrab digunakan oleh masyarakat.
Pelatihan pembuatan weather station ini, kata Karlina, sebagai upaya bersama untuk membuat teknologi menggunakan AI yang berkualitas. “Kalau data beragam, datanya beretika, dan bagus, maka hasil pembacaan AI-nya juga akan lebih baik juga,” katanya.
Ia berharap kegiatan ini bisa bermanfaat bagi komunitas dan masyarakat. Pada akhirnya masyarakat bisa ambil bagian mengatasi krisis iklim yang terjadi.***
