Rural ICT Camp 2024 melahirkan inisiatif kolaborasi baru antarorganisasi masyarakat sipil untuk mengatasi persoalan perubahan iklim. Inisiatif ini diberi nama ID-Changes atau Indonesia Climate Change Preparedness and Disaster Emergency Response Group.
Peluncuran program ini dilakukan di hari kedua Rural ICT Camp 2024 di Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Selasa, 8 Oktober 2024. Bergabung dalam program ini adalah Air Putih, Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII), Combine Resource Institution (CRI), Common Room, ICT Watch, Portkesmas, dan Relawan TIK.
Semua lembaga tersebut masing-masing memiliki sumber daya dan keahlian yang berbeda. Mulai dari infrastruktur digital, penyedia internet komunitas, literasi digital, kerelawanan bidang teknologi informasi dan komunikasi, juga kesehatan masyarakat. Itu semua memberi kekuatan besar kepada aliansi ini. ID-Changes menjadi inisiatif kolektif yang diharapkan mampu menanggulangi berbagai tantangan di ekosistem lokal, regional, juga global.

Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak gunung api, Indonesia rentan terjadi bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, kekeringan, tanah longsor, dan angin ribut. Risiko ini semakin meningkat dengan krisis iklim yang semakin nyata. Belum lagi bencana yang disebabkan oleh sebab lain seperti kekagalan teknologi, wabah, dan lainnya.
Direktur Common Room, Gustaff Harriman Iskandar menjelaskan, program ini sebagai respon atas berbagai risiko bencana di Indonesia.
Semua organisasi yang tergabung dalam program ini pun, kata Gustaff, sebelumnya sudah bekerja sama saat menghadapi wabah COVID-19.
“Situasi kebencanaan dan kedaruratan hanya bisa diselesaikan masyarakat yang saling bantu dan terhubung,” kata Gustaff.
Itu sebabnya, berbagai lembaga ini sepakat untuk tergabung dalam satu program yang fokus pada kesiapan penanggulangan bencana dan kedaruratan.
Direktur CRI, Elanto Wijoyono mengatakan, tidak semua urusan bisa diserahkan pada pemerintah. Salah satunya dalam hal mitigasi bencana ini. Warga juga perlu mempunyai inisiatif. “Tidak harus muncul dalam bentuk kelompok organisasi formal, apapun bentuknya itu bisa dimulai,” katanya.

Elanto mencontohkan program Jalin Merapi yang dilakukan oleh CRI bersama masyarakat di lereng Gunung Merapi. Ketika itu, CRI mendorong median komunitas berperan aktif memberi informasi kepada warga menggunakan media yang paling mudah dijangkau, saat itu ialah radio siaran.
“Gunung api itu bentuknya seperti kerucut. Di setiap lerengnya ada kelompok warga yang tinggal di sekeliling itu. Mereka tidak bsa berkomunikasi langsung dengan lereng lainnya. Masing-masing sisi lerengnya harus punya kesiapan saat erupsi. Saat itu BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah) belum ada di semua daerah,” tuturnya.
Selama kurun waktu 2006-2010, masyarakat diperkenalkan dengan internet untuk merespons bencana. Hasilnya, masyarakat bisa menjadi sumber informasi untama yang terpercaya tentang situasi di sekitar Merapi.
Keberhasilan ini bisa diulang, apalagi dengan teknologi saat ini yang jauh lebih ringkas dan mobile. Solusi yang diberikan bisa lebih inovatif, utuh, dan meluas.
Mewakili ICT Watch, Heru Tjatur mengatakan, saat bencana atau kedaruratan terjadi, sangat sulit berharap warga setempat mampu mengkoordinir dirinya. “Tetangga terdekat yang harus datang mengulurkan tangan. Jangan berharap mereka yang ada di dalam itu akan bergerak,” katanya.

Bahkan, saat banjir terjadi di Jakarta, tidak ada organisasi di sana yang bisa bergerak. Padahal Jakarta memiliki kemampuan infrastruktur dan ekonomi besar. Saat gempa menerpa Cianjur, jaringan di kota-kota sekitarnya yang bergerak. “Termasuk juga kami minta tolong CRI yang banyak hal dikendalikan dari Yogyakarta,” katanya. Jaringan yang baik dan siap menjadi kunci.
Direktur Eksekutif ICT Watch Indriyatno Banyumurti mengatakan, saat bencana terjadi akan muncul kepanikan yang menimbulkan dampak lainnya. Misinformasi dan disinformasi sangat mudah terjadi dan menjadi celah penipuan. Ini menjadi tantangan mitigasi bencana.

Direktur Eksekutif Portkesmas, Basra Ahmad Amru mengatakan, keterlibatan lembaganya di ID-Changes berkontribusi dalam hal isu kesehatan. Selama ini isu kesehatan terlihat eksklusif, hanya bisa diakses kelompok tertentu. Padahal persoalan kesehatan sangat penting untuk diketahui masyarakat. “Padahal kita bisa langsung berkolaborasi,” ujarnya.
Maka itu ia berharap, keterlibatan Portkesmas bisa membumikan berbagai persoalan kesehatan dan memberikan solusi yang bisa dijangkau oleh banyak orang.
Aktivis literasi digital yang kini menjabat sebagai Ketua Umum Siberkreasi, Donny Budi Utoyo mengatakan, teknologi memang menjadi bagian penting dari upaya ketahanan masyarakat dari bencana alam. Akan tetapi, teknologi tidak bisa berdiri sendiri. Perlu ketahanan yang bisa digarap bersama di pedesaan atau yang selama ini dikenal dengan gotong royong. “Ini inti dari ketahanan pedesaan. Teknologi itu hanya membantu,” katanya.
Situasi kebencanaan dan kedaruratan bisa menjadi momentum untuk menyatukan semua potensi di masyarakat. Tak terkecuali, organisasi masyarakat sipil yang bergerak bersama lewat ID-Changes ini.***

