Foto Oleh Addy Gembel
Pukul sebelas siang, suasana di Bale Handap, Selasar Sunaryo pada Rabu (21/7) terasa segar dan sejuk untuk menyambut Expert Meeting hari ketiga. Ditambah kopi dan teh hangat, suasana mendukung untuk melakukan perbincangan yang hangat dan renyah. Tak urung, Atteqa Malik dari Mauj Media Collective, Pakistan pun memulai sesi. Sebelum bercerita tentang Mauj Media Collective, Atteqa bercerita sedikit mengenai kondisi di Pakistan. Bagaimana huru-hara yang terjadi di Pakistan belakangan ini, sedikit banyak memang mempengaruhi kebiasaan, dan kultur keseharian mereka. Termasuk pada perilaku berorganisasi Mauj itu sendiri.
Mauj sendiri memilik dua arti. Arti yang pertama adalah gelombang (wave). Seperti gelombang yang tidak ada artinya tanpa keberadaan laut, begitu juga dengan seseorang yang menjadi kecil/lemah jika sendirian, namun menjadi kuat bila bergabung dengan yang lain. Prinsip itulah yang menjadi pegangan Mauj dalam berorganisasi. Arti yang kedua adalah ‘to have fun’, dimana Mauj menjadi wadah bagi tiap orang untuk berekspresi, termasuk dalam pembuatan film, video, digital art, kartun, dll.
Ada yang menarik dari strategi Mauj dalam melakukan aktifitas mereka. Dalam mengumpulkan publik, termasuk media, mereka hanya mengirimkan informasi singkat lewat sms, yang berisi mengenai keterangan tempat dan waktu berkumpul. Di waktu yang telah ditentukan, aksi pun digelar, dan tepat sejam kemudian, aksi berakhir. Semua berjalan dengan cepat dan efisien.
Begitu pun dalam pengadaan suatu acara. Kondisi birokrasi yang rumit, menjadikan Mauj membuat alternatif lain untuk menyebarluaskan acara-acaranya. Salah satunya adalah melalui media internet. Seringkali, acara yang dilangsungkan hanya mengundang segelitir orang saja, namun suasana dan kegiatan acara direkam, lalu disebarkan melalui internet agar masyarakat luas dapat mengaksesnya juga.
Ternyata, tidak hanya urusan birokrasi yang mirip dengan Indonesia, di ranah politik pun terdapat kemiripan, yaitu kaum pebisnis yang memasuki dunia politik. Alhasil, bidang perekonomian selalu mendapat perhatian utama dan khusus dalam kenegaraan. Namun, sama halnya dengan di Indonesia, kekuatan masyarakat terus menyala. Komunitas-komunitas kecil akan selalu ada untuk mengkritisi hal-hal sosial, dan melakukan aksi untuk memperbaiki diri dan lingkungan. Semangat inilah yang membuat komunitas dan kelompok kecil selalu ada untuk memperbaiki kondisi di sekitarnya. Hal inilah yang dilakukan oleh Common Room di Bandung. Berdiri 2003 (sebelumnya adalah Bandung Centre for New Media Art, 2001), hingga kini Common Room intens untuk melakukan kegiatan sosial, penyebaran ilmu pengetahuan, maupun pemetaan komunitas, dimana teknologi menjadi alat untuk menyebarkan pengetahuan.
Di Bandung sendiri telah terjadi degradasi kualitas lingkungan kota. Jika dulu Bandung dikenal sebagai kota dengan suasana yang nyaman, aman, dan segar, tidak demikian dengan sekarang. Struktur kota yang semrawut, minimnya sarana dan prasarana, seperti menunjukkan sosok yang tidak siap mengalami perubahan yang begitu cepat. Semua diserap, tanpa adanya penyaringan. Berlandaskan hal itulah, Common Room melandaskan gerakannya pada aktivitas di seputar seni, budaya, dan pemanfaatan ICT/Media, sebagai dasar untuk mengupayakan perubahan sosial, menghimpun kekuatan masyarakat, dan kegiatan penelitian untuk mendorong terjadinya mekanisme produksi informasi dan pengetahuan.
Untuk mendorong perubahan sosial di lingkungan sekitarnya, pada tahun 2008 Common Room pun ikut memfasilitasi kegiatan komunitas warga Babakan Asih yang aktif melakukan perbaikan kualitas lingkungan mereka sejak beberapa sejak kurang lebih sepuluh tahun yang lalu. Daerah Babakan Asih yang sebelumnya kerap terkena musibah banjir tahunan, saat ini telah berhasil membuat sistem sumur penampungan yang mampu mengalihkan air hujan dengan cepat. Banjir yang biasa berminggu-minggu terjadi di sekitar lingkungan mereka, saat ini hanya membutuhkan waktu maksimal 30 menit untuk surut.
Tidak hanya itu, bekerja sama dengan Solidaritas Independen Bandung (SIB), Common Room melakukan aksi penanaman pohon di sekitar Gunung Manglayang, Ujungberung, sebagai bentuk kepedulian akan krisis air yang terjadi di daerah Ujungberung. Kegiatan ini rencananya akan diulang kembali pada akhir Agustus depan. Belajar dari dua organisasi tersebut, terdapat kemiripan walau berbeda Negara dan Bahasa. Mereka sama-sama menyuarakan aspirasi publik dan bergerak untuk kebaikan bersama. Persoalan apapun yang dihadapi, akan terlewati jika kebersamaan yang dipegang.
Rumah Serat dari Jogja
Sesi kedua dilakukan setelah sesi makan siang yang santai dan hangat. Selesai makan, Venzha dari House of Natural Fiber (HONF), mulai mempresentasikan mengenai HONF dan kegiatan-kegiatan yang dilakukannya. Dengan logat Jawa yang kental dan khas, serta pembawaannya yang santai, presentasi berjalan alon, asal kelakon. HONF sendiri berdiri tahun 1999, dengan semangat berkarya bagi pengembangan diri para personilnya. Namun dalam perjalanannya, HONF banyak berkolaborasi dengan berbagai pihak. Berbeda dengan Common Room, HONF sering bekerja sama dengan akademisi, khususnya UGM. Salah satu yang pernah dikerjakannya adalah mencari solusi untuk kasus Congek yang pernah terjadi pasca Gempa, di tahun 2005 yang lalu. Dalam project ini, HONF menggabungkan antara DNA dengan karya seni.
Nama HONF sendiri diambil dari semangat berkolaborasi dan membentuk jejaring seluas-luasnya. Itulah yang menyebabkan Venzha memilih Fiber untuk mewakilkan semangat kebersamaan tersebut. Hingga kini, HONF memiliki 7 pegawai tetap, dan puluhan relawan untuk mempersiapkan kegiatan-kegiatan tahunan, seperti Yogyakarta International Media Art Festival dan Yogyakarta International Videowork Festival.