Pengembangan internet pedesaan memiliki potensi ekonomi yang tinggi. Bagaimana menemukan model bisnis yang tepat menjadi kunci keberhasilan bisnis berkelanjutan. Belajar dari iDes, internet pedesaan bisa hidup dan menghidupkan masyarakat.
iDes merupakan jenama yang lahir dari Sekolah Internet Komunitas (SIK) di Kecamatan Ciracap, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. SIK Ciracap terbentuk sejak beraktivitas dengan Common Room pada 2020. Melalui berbagai pelatihan dan peningkatan kapasitas, masyarakat mampu membangun jaringan internet di desanya. Sejak 2023, SIK Ciracap berbadan hukum dengan nama PT Internet Desa Digital. Lini usaha ini yang mengoperasikan iDes.
Kini kapasitas layanan iDes mampu melayani sampai 5.000 pelanggan hotspot. Dengan area layanan yang tersebar di beberapa desa di Ciracap, omsetnya melesat dari sekitar Rp 300 ribu per bulan menjadi Rp 30 juta. Angka ini tentu saja tidak didapat begitu saja.

“Pelayanan selalu jadi prioritas,” kata Direktur iDes Dede Irawan saat menjadi pembicara pada sesi Workshop Pengembangan Bisnis untuk Manajemen Internet Komunitas yang digelar di Rural ICT Camp 2024 di Ciracap, Kamis, 10 Oktober 2024.
Saat memulai usaha ini, Ciracap masih menjadi area blank spot atau tidak terjangkau jaringan internet sama sekali. Sementara saat ini internet sudah menjadi kebutuhan dasar untuk kepentingan pendidikan, kesehatan, juga ekonomi. Setelah mendapat berbagai pelatihan teknis dari Common Room ditambah dengan keterampilannya sebagai guru SMK, Dede mengeluarkan modal pribadi untuk membentuk iDes.
Saat ini iDes empat desa, yaitu Pangumbahan, Gunung Baru, Cikangkung, dan Ujung Genteng. Untuk menyediakan internet pedesaan ini, iDes mengelola fiber optic sepanjang 15 Km. Jumlahnya diperkirakan akan terus bertambah seiring dengan meningkatnya permintaan.
Model bisnis
Pendapatan iDes berasal dari beberapa sumber, yaitu pemasangan perangkat sambungan dan penjualan voucher. Pemasangan perangkat dipatok di harga Rp 700 ribu. Namun kini harganya sudah semakin murah, sekitar Rp 300.000 “Kita ini bisa dibilang merusak harga pasar. Biasanya pemasangan itu harganya di atas Rp 1 juta. Harga iDes jauh lebih murah,” kata Dede.

Pemasukan dari pemasangan ini kemudian dibagi-bagi untuk iDes dan teknisi. Uang yang masuk ke iDes disimpan sebagai tabungan untuk pengadaan perangkat. Dari setiap pemasangan sambungan, teknisi mendapat bagian sekitar Rp 100-150 ribu.
Pemasukan lainnya berasal dari penjualan voucher internet. Voucher yang dijual harganya beragam, namun sangat terjangkau. Misalnya saja Rp 50.000 untuk satu perangkat dengan masa pakai 30 hari. Dengan kata lain, masyarakat sudah bisa menggunakan internet dengan biaya tidak sampai Rp 2.000 per hari. Dijual juga voucher eceran, Rp 2.000 untuk tiga jam.
Pemasaran voucher internet ini menggunakan agen dengan sistem komisi. Agen mendapatt bagian dari setiap voucher yang terjual. Untuk menjadi agen, cukup dengan membeli voucher senilai Rp 300-500 ribu. Teknisi juga bisa menjadi agen penjual voucher.
“Teknisi bisa dapat Rp 35 ribu per dua hari dari penjualan voucher saja. Kalau pemasangan, sehari bisa dua sampai tiga pemasangan,” ujar Dede.
Hadirnya pesaing
Saat berdiri, iDes nyaris tidak punya pesaing. Kini perusahaan penyedia layanan internet sudah mulai masuk ke Ciracap. Perusahaan besar menjajikan layanan internet yang kuat. Dede tidak gentar. Ia optimistis iDes bisa bersaing.
Dede mengatakan, iDes unggul dalam hal operasional. Semua teknisi dan sumber daya manusia lainnya berasal dari masyarakat Ciracap sendiri. Ini membuat pelayanan lebih cepat dan biaya operasional yang lebih murah. “Kalau pesaing ada kendala, saat dihubungi belum tentu mereka bisa memperbaiki langsung saat itu juga. Lokasinya jauh sehingga ada biaya juga,” ucapnya.
Ini yang menjadi nilai tambah bagi iDes. Teknisi diatur tersebar di semua desa yang dilayani iDes. Dengan begitu teknisi bisa datang dengan cepat sehingga kendala segera teratasi. Plus, iDes berkomitmen tidak mengenakan biaya untuk perbaikan.

Harga yang ditawarkan iDes juga sangat bersaing. Seringkali kuota yang ditawarkan perusahaan layanan penyedia internet habis lebih cepat dari masa aktif yang dijanjikan. “Katanya 50.000 untuk sebulan, tapi baru dua minggu sudah habis. Kalau iDes, voucher untuk 30 hari ya selama 30 hari itu bisa akses internet terus,” kata Dede.
Dengan keunggulan-keunggulan ini, Dede tidak khawatir dengan hilangnya peluang di masa datang. Bersama dengan tim yang solid, ia yakin iDes bisa terus meluaskan layanannya.
Tanggung jawab sosial
Dede tak memungkiri internet telah mengubah perilaku masyarakat, mulai anak-anak hingga orang dewasa. Pelajar SD sekarang sudah menjadi pembeli voucher internet. Mereka membelinya untuk main game.
Hal ini menimbulkan tanya pada dirinya sendiri, “Apa kebanggaannya kalau cuma jual voucher saja? Apa pentingnya untuk generasi muda?”
Keresahan itu dijawab dengan membuat kelas-kelas gratis untuk anak. Pada akhir pekan, anak-anak diajari berbagai keterampilan digital, misalnya belajar Microsoft Office. Selain itu juga diberikan pelajaran Bahasa Inggris.
“Dengan berkembangnya internet yang kami kelola, anak-anak ini juga butuh pengarahan,” ujar Dede.

Belajar dari Kasepuhan Ciptagelar
Dengan model bisnis yang sama, ekonomi digital di Kasepuhan Ciptagelar telah melesat lebih dulu. Wilayah operasionalnya sudah menjangkau tujuh desa, termasuk beberapa desa yang masuk ke wilayah Banten. Layanan penyedia internet yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Kasepuhan Ciptagelar kini omsetnya sudah mencapai Rp 120 juta per bulan.
Kasepuhan Ciptagelar tidak hanya menghadirkan layanan internet bagi warganya, jaringan yang mereka miliki ini juga dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi kepada masyarakat. “Jadi kalau ada pengumuman atau acara adat bisa langsung disebarkan juga,” kata Apri yang menangani operasional Badan Usaha Milik Kasepuhan Ciptagelar.
Dari sisi teknis, jaringan internet di Ciptagelar mengalami beberapa kali perubahan hingga akhirnya menggunakan server. “Awalnya kita pakai antena, lalu ganti kabel. ternyata tidak efektif karena lokasi kami perbukitan. Akhirnya sekarang pakai server, malah sekarang bisa punya tv digital,” tuturnya.
Geliat ekonomi digital di pedesaan diharapkan terus bertumbuh. Sambil terus memperkuat literasi digital untuk menangkal dampak internet yang tidak diinginkan.***