[Diskusi MLI] Revolusi Copernicus | Prof. Bambang Hidayat | Rabu, 15 Mei 2013
Diskusi Bersama Prof. Bambang Hidayat
Rabu, 15 Mei 2013, pk. 14.00 – 17.00 WB
Ruang Serbaguna UPT Perpustakaan ITB
Jl. Ganesha No. 10
Gratis & terbuka untuk umum.
Pengantar
Pada dasarnya Revolusi Kopernikus adalah pergeseran paradigma model alam semesta: dari system Ptolomeus yang mendudukan Bumi stationer sebagai pusat peredaran, ke Matahari sebagai pusat perputaran langit. Sebagai layaknya kelahiran sebuah revolusi itu sendiri dipicu oleh prolog ubahan peristiwa sosial: mulai dari asimilasi ilmu lama, dengan wawasan baru tentang alam semesta yakni ketidak mungkinan mempertahankan kedudukan Bumi stasioner tanpa gerak; ubahan tatanan ekonomi dan agraris sederhana menjadi lebih produktif dan merata. Bersamaan dengan itu Ordo Fransiskan pada abad ke-12 sudah mulai mencetuskan penalaran yang mengemban suasana diskursif, serta dorongan menumbuhkan ide yang kreatif. Kematangan masyarakat siap menantikan ubahan seperti seorang Ibu yang hamil tua.
Penemuan dunia baru diseberang Atlantik memberi impetus dan bobot keinginan merubah suasana. Interaksi dengan mediterania menambah luas wawasan Eropa sentral. Dalam banyak hal timbul pertanyaan apakah yang tejadi itu revolusi atau sebuah proses reformasi pemikiran. Apapun yang telah terjadi memperlihatkan perkembangan nalar yang bebas, yang ingin menjawab informasi dengan (istilah sekarang) bukti yang evidence-based. Baik reformasi apalagi, nyatanya, revolusi waktu itu adalah ubahan cepat alur pikiran yang dipicu oleh keperluan membuat tabel baru astronomi, atas dasar penelitian yang harus menghasilkan bukti. Kelahiran usaha cetak sangat membantu proses pengubahan tersebut dengan penerbitan “de revolutionibus Orbium Prima” yang bisa beredar cepat melampaui jangkauan kendali gereja dan kekuasaan.
Ilmu pengetahuan pasca Revolusi itu menikmati beberapa penerobosan jalan buntu. Alur riset yang hipotetiko-deduktionik berkembang. Kota-kota Universitas tempat pengecambahan keilmuan dengan semangat libetariani (seperti Padua, Florence) yang dinamik tumbuh sebagai pusat budaya baru. Gagasan bahwa eksperimen bernilai lebih besar daripada proses induktif menguasai nalar kemampuan untuk kebebasan menyuruki sifat alam sekitar mulai dari jasad renik sampai ukuran makro. Ilmu pengetahuan yang selalu mempertanyakan (dengan skeptisisme yang teroganisasi) menjadi supreme doktrime kala itu. Penalaran cepat berkembang biak ketika pada tahun 1471 dwitunggal mesin penyebaran aktif bekerja: bebas mimbar dan percetakan. Revolusi itu kemudian menemukan tokoh dan cantriknya seperti Darwin dengan Huxley, Halley dan Newton, merampungkan Revolusinya Copernikus menghantar dunia ke alam Lavoisier, dan lainnya. Homosentrisme ditinggalkan oleh Revolusi itu.
Prof. Bambang Hidayat
Kegiatan ini adalah buah dari kerjasama antara Moedomo Learning Initiative, UPT Perpustakaan Pusat ITB, dan Common Room.
*Sumber gambar: Wikipedia