foto oleh Addy Gembel
Pentingnya keterbukaan, kebebasan berekspresi, dan dialog antar-budaya menjadi hal yang paling krusial dalam mmendorong perkembangan media baru yang perkembangannya kian signifikan di lingkup Asia Tenggara. Itulah kesimpulan dari hasil pembukaan Expert Meeting yang dihadiri oleh sejumlah praktisi media, ahli teori, dan aktivis media dari Asia dan Eropa dalam rangkaian acara Nu-Substance Festival 2010: Floating Horizon. Sejumlah para ahli yang hadir dalam rapat yang dimulai pada Senin (19/7) sekitar pukul 11 siang itu dihadiri oleh Stephen Kovats (Transmediale, Jerman), Victoria Elizabeth Sinclair (Arcspace Manchester, Inggris), Atteqa Thaver Malik (Mauj Media Collective, Pakistan), Arthit Suriyawongkul (Thai Netizen Network & Creative Commons Thailand), Catherine Candano (National University Singapore, Singapura), Benjamin Laurent Aman (Seniman, Perancis), Marion Auburtin (Seniman, Perancis), Mirwan Andan (Ruang Rupa Jakarta, Indonesia), Sabina Santarossa dan Anupama Sekhar (Asia-Europe Foundation).
Mirwan Andan mengemukakan perkembangan media massa di Indonesia saat ini telah dikuasai para elit politik. Ia melanjutkan dengan memberi contoh studi kasus pada televisi-televisi di Indonesia yaitu TV One dan Metro TV. Jurnalisme televisi yang berkembang di Indonesia dianggap tidak sehat karena selalu memunculkan kepentingan-kepentingan para konglomerat media. Bahkan kecenderungan-kecenderungan pemilik media berkecimpung pula di partai-partai politik. Eratnya hubungan politik dan media massa adalah kondisi kisruh dalam perkembangan media massa di Indonesia, terutama sejak dibukanya keran konglomerasi media sejak zaman orde baru.
Perkembangan media baru di negara-negara Asia banyak memiliki hambatan dan tantangan yang banyak dicampuri oleh pemerintah. Menurut Catherine, sangat penting untuk menumbuhkan civil society dalam konteks perkembangan media baru. Ia menambahkan khusus untuk negara-negara Asia Tenggara, saat ini keberadaan civil society sangat lemah. Itu karena kebebasan berekspresi masyarakat sipil seringkali menjadi ancaman bagi pemerintah status quo. Sebagai contoh, kebijakan pemanfaatan media baru di Singapura saat ini diatur begitu ketat. Hal itu membuat kebebasan berekspresi memiliki posisi yang sangat rentan karena ketatnya aturan dari pemerintah dalam mengontrol penggunaan internet.
Hal itu sejalan dengan pendapat Stephen Kovats. Menurutnya, pemerintah seringkali tidak tanggap dan seolah impoten ketika mengatur digital activism. Salah satu upaya yang bisa dikembangkan sebagai jalur alternatif adalah dengan membuka keran-keran dari sektor independen untuk mendorong pertumbuhan aktivisme digital. Inisiasi yang dilakukan lembaga-lembaga non-pemerintah untuk mengembangkan digital activism, seperti Asia-Europe Foundation (ASEF) sangat diperlukan. Sabinda dan Anupama dari ASEF membicarakan perihal pemetaan dan pembuatan kerangka dalam proses mengembangkan ruang-ruang media alternatif. Dalam kesempatan ini, diskusi kemudian mengarah pada perbincangan yang intens mengenai rekomendasi kebijakan pemanfaatan media baru pada beberapa negara di Asia dan Eropa.
Budaya dalam arsip digital
Pada sesi kedua, pemateri yang hadir adalah Endo Suwanda (ethnomusicologist). Endo memaparkan tentang konteks globalisasi terutama dalam kajian-kajian lokal-interlokal-nasional. Ia memberikan contoh pada seni dan budaya yang berkembang di Indonesia. Percampuran antara budaya barat dan timur menjadi satu budaya baru yang berkembang di masyarakat. Contohnya, alat musik asal Pelambang yang “mirip” akordeon. Atau patung-patung Hanoman yang berpencar di seluruh negara baik dari Indonesia, Cina, Thailand, dan Vietnam. Wacana menyoal tradisi “asli” pun menjadi pertanyaan besar soal orisinalitas budaya asli bangsa Indonesia.
Sebuah upaya yang dilakukan oleh Endo untuk melestarikan seni dan budaya yang berkembang di masyarakat Indonesia yaitu dengan menciptakan arsip digital yang berisi daftar dan kategori seni-budaya Indonesia. Seperti situs-situs yang dikembangkan Endo, www.tikar.or.id dan www.lpsn.org untuk mendokumentasikan seni-budaya yang berkembang di Indonesia. Namun, hal itu tidak mudah. Menurutnya, pengategorisasian dan taksonomi adalah problem paling menyulitkan dalam pengumpulan data-data dokumentasi. Hal itu diakui Endo karena sudah semakin kompleksnya laju seni-budaya yang berkembang di Indonesia. Ia memberikan contoh alat musik asal pulau Sumba, Jungga, yang suara dan bentuknya tidak jauh beda dengan gitar elektrik modern.
Menurut Endo, ada dua permasalahan dalam mengembangkan arsip digital. Pertama, produksi teknis seperti editing dan permasalahan utama yaitu, akses dan pendanaan untuk keberlansungan proyek riset dan dokumentasi. Padahal keberlangsungan arsip digital merupakan hal yang krusial seperti memberikan akses pengetahuan buat orang banyak dan mengetahui laju perkembangan seni-budaya Indonesia. Proses pengembangan arsip digital di masa depan dinilai penting karena akan punahnya material-material berbahan analog. Pembukaan Expert Meeting hari pertama ini ditutup dengan makan malam bersama antara para partisipan bersama para pejabat Pemerintahan Kota Bandung untuk mendiskusikan harapan komunitas kreatif kepada pemerintah.