Co_LABS: Inovasi Teknologi Komunitas untuk Ketahanan Iklim Pesisir

Newsroom

Co_LABS: Inovasi Teknologi Komunitas untuk Ketahanan Iklim Pesisir

Sebagai bagian dari rangkaian kegiatan Rural ICT Camp 2025, Common Room Network Foundation bersama FAIR Forward – GIZ Indonesia dan Insan Infonesia menyelenggarakan sesi  Dialog Kebijakan I bertajuk “Diseminasi Program Co_LABS: Inovasi Teknologi Komunitas untuk Ketahanan Iklim Pesisir pada Selasa (23/9/2025) di Wisma Hijau, Depok.

Program Co_LABS (Community-Based Collaboration Innovation for Climate Change Resilience merupakan hasil kolaborasi lintas organisasi untuk mengembangkan solusi berbasis teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), dalam menghadapi dampak perubahan iklim di wilayah pesisir Indonesia.


Dalam pembukaannya, Penasihat AI Fair Forward GIZ Indonesia, Karlina Octaviany menjelaskan bahwa Co_LABS lahir dari inisiatif Ekonomi Biru yang digagas oleh Bappenas. Program ini dikembangkan sebagai laboratorium inovasi komunitas yang memanfaatkan teknologi AI untuk memperkuat ketahanan iklim (climate resilience).

Co_LABS beroperasi di dua wilayah percontohan, yaitu Pulo Aceh, Aceh Besar dan Maros Sulawesi Selatan. Keduanya dipilih karena memiliki karakteristik ekosistem pesisir yang unik, Pulo Aceh merupakan wilayah yang bangkit dari kehancuran tsunami 2004, sedangkan Maros dikenal dengan tambak purbanya yang kini terdampak perubahan iklim.

“Kalau mau mengembangkan AI, masyarakat lokal harus terlibat langsung agar teknologi yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan dan konteks mereka,” ujar Karlina.

Ia juga menegaskan bahwa FAIR Forward berkomitmen membuka akses data dan membangun literasi AI agar teknologi tidak hanya dimiliki kalangan perkotaan, tetapi juga bisa dimanfaatkan masyarakat di wilayah terpencil.


Project Manager Sofware Co_LABS Rois Solihin menjelaskan proses pembuatan sensor iklim menggunakan pendekatan “design thinking”. Bersama timnya, Rois merancang dan menguji sensor di Pulo Aceh dan Maros dengan melibatkan warga lokal sebagai kolaborator utama.

Ia menjelaskan enam tahap pengembangan sensor, mulai dari empathize yaitu memahami kebutuhan warga hingga implement yaitu pemasangan dan pengujian di lapangan. Dalam praktiknya, tim banyak beradaptasi dengan budaya lokal: di Aceh, diskusi lebih efektif dilakukan di warung kopi pada malam hari, sementara di Maros warga justru aktif membantu dalam perakitan sensor.

“Awalnya kami pikir sensor bisa dibuat sama untuk semua lokasi. Ternyata tidak. Kondisi laut, suhu, dan budaya kerja masyarakat membuat kami harus menyesuaikan desain di setiap tempat,” tuturnya.

Sensor yang dikembangkan Co_LABS berfungsi memantau perubahan suhu, kadar garam, dan kualitas air laut, yang sangat penting bagi nelayan dan petambak. Meski sederhana, perangkat ini terbukti efektif dan menjadi sarana belajar bersama antarwarga dan peneliti.

Direktur Common Room, Gustaff H. Iskandar menegaskan bahwa perubahan iklim bukan lagi isu masa depan, melainkan kenyataan yang sudah terjadi. Ia menyoroti tiga tantangan utama dalam memahami dan mengatasi krisis ini yaitu keterbatasan data iklim, transparansi dan akuntabilitas, serta pemanfaatan data untuk kehidupan nyata.

“Data yang baik bisa menyelamatkan kehidupan. Tapi tanpa partisipasi masyarakat, kita tidak punya data yang cukup. Karena itu, Co_LABS hadir untuk melibatkan warga dalam pengumpulan dan analisis data iklim secara kolaboratif,” ungkap Gustaff.


Ketua Tim Produksi Informasi Iklim BMKG, Mugni Hadi Hariadi menjelaskan bahwa pengelolaan data iklim saat ini masih diatur melalui kebijakan resmi. Namun BMKG membuka ruang bagi kolaborasi komunitas melalui konsep “co-production dan co-design”, di mana masyarakat dapat berkontribusi langsung dalam pengumpulan data cuaca dan iklim.


Sementara itu Koordinator Bidang Ekosistem & Ruang Digital Direktorat Infrastruktur Ekosistem dan Keamanan Digital Bappenas, Andreas Bondan Satriadi  menilai pendekatan Community Generated Data (CGD) seperti yang dilakukan Co_LABS sangat penting bagi pembangunan nasional.

 “Pemerintah tidak mungkin mengumpulkan semua data sendiri. Pelaksana teknis seperti Common Room justru tahu kondisi riil di lapangan. Karena itu, kolaborasi dan standarisasi data menjadi kunci,” ujar Bondan.

Dua perwakilan komunitas, Irfan dari Pulo Aceh dan  Syakira Syahrir dari Maros, berbagi pengalaman mereka mengikuti program Co_LABS. Irfan menuturkan bahwa inisiatif ini telah meningkatkan literasi digital dan motivasi anak muda di Aceh untuk mengembangkan kemampuan teknologi.

“Dari keterbatasan, kami belajar meningkatkan resiliensi. Harapannya, suatu saat kami bisa mandiri secara ekonomi dan sumber daya manusia,” ucap Irfan.


Sementara Syakira menekankan manfaat langsung program ini bagi masyarakat pesisir yang terdampak perubahan iklim. “Co_LABS hadir tepat waktu, memperkuat kapasitas SDM, dan memberi ruang bagi perempuan untuk berperan dalam teknologi,” ungkapnya.

Program Co_LABS menjadi contoh nyata bagaimana teknologi, sains, dan komunitas dapat berpadu dalam menjawab tantangan perubahan iklim. Dengan pendekatan partisipatif, kolaborasi lintas sektor, serta semangat gotong royong, inisiatif ini tidak hanya menciptakan alat, tetapi juga membangun kesadaran baru bahwa inovasi yang bermakna lahir dari masyarakat itu sendiri.***

Share Article

Berita Terbaru

Newsroom

Berita dan pembaharuan terbaru
langsung dari Common Room.

Co_LABS: Inovasi Teknologi Komunitas untuk Ketahanan Iklim Pesisir
This website uses cookies to improve your experience. By using this website you agree to our Privacy Policy.
Read more