Articles

Analitik Menggelitik Penanggulangan HIV/AIDS dan Napza di Indonesia | Oleh Ginan Koesmayadi (Rumah Cemara)*

Rumah Cemara,For Life,Babakan Asih,Common Room

Sampai dengan 30 Juni 2009, laporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia yang diterima oleh Ditjen PP & PL Departemen Kesehatan RI ada sekitar 17.699 kasus. Semuanya tersebar di sekitar 32 provinsi dan 300 Kabupaten/ Kota. Sementara itu, berdasarkan informasi yang juga dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan RI, pengguna napza suntik yang rentan terhadap HIV/AIDS terestimasi sebanyak 190.000 – 247.000 orang. Sebagai perbandingan, estimasi yang dikeluarkan oleh UNAIDS untuk kasus HIV/AIDS ada sekitar 270.000 kasus, dengan proyeksi estimasi pada tahun 2014 sebanyak 501.400 kasus. Terkait dengan hal ini, Badan Narkotika Nasional (BNN) memproyeksikan estimasi pengguna Napza pada tahun 2009 adalah 1,9 % dari jumlah penduduk Indonesia atau sama dengan 4.750.000 orang.

Meskipun pemerintah dan berbagai kelompok masyarakat telah melakukan berbagai langkah untuk mengatasi permasalahan Narkoba dan HIV/AIDS, namun sampai saat ini tampaknya inisiatif yang ada baru sampai pada tahap seremonial yang minim atensi yang maksimal. Kebanyakan program intervensi penanggulangan Narkoba dan HIV/AIDS masih berdasarkan pada pendekatan praktis dan pragmatis dalam menyelesaikan masalahnya. Apabila kita analisa lebih mendalam dengan menggunakan beberapa paradigma dan perspektif dari bermacam sudut pandang keilmuan, solusi bagi masalah Narkoba dan HIV/AIDS memerlukan beberapa tahapan intervensi yang dilakukan secara komprehensif dan berkelanjutan.

Pendekatan praktis dan pragmatis selama ini sudah sering dilakukan oleh pemerintah dan para penggiat pekerjaan sosial. Tantangan ke depan adalah mengembangkan sebuah program intervensi yang secara sinergis dapat memadukan pendekatan praktis dan pragmatis dalam sebuah kerangka intervensi yang komprehensif dan berkelanjutan. Salah satu contoh pendekatan praktis dan pragmatis bagi pengguna Napza suntik agar tidak menularkan atau tertular HIV/AIDS dan penyakit yang disebabkan oleh pertukaran jarum suntik adalah program Harm Reduction atau pengurangan dampak buruk di kalangan pengguna Napza suntik (Penasun).

Apabila kita lihat secara sepintas, pendekatan di atas tampaknya dapat mengurangi penularan HIV/AIDS atau penyakit terkait di kalangan pengguna Napza suntik. Namun dalam perspektif pemberdayaan masyarakat, tampaknya program ini cenderung menjadikan Penasun yang terlibat sekedar menjadi objek. Di level tertentu, hal ini kemudian menyebabkan ketergantungan terhadap keberadaan lembaga donor atau program bantuan internasional. Sangat disayangkan bahwa beberapa organisasi yang ada juga terkadang hanya sekedar memanfaatkan program Harm Reduction sebagai sarana untuk mengumpulkan data-data dan informasi yang terkait dengan kalangan pengguna Napza untuk kepentingan mereka sendiri.

Sampai sejauh ini kualitas hidup yang menyangkut keadaan fisik, psikis, sosial, dan spiritual Penasun masih dalam taraf yang cukup rendah. Hal ini dapat dilihat dari kondisi beberapa staf pelaksana program, klien jangkauan atau dampingan lembaga swadaya masyarakat penggiat program Harm Reduction. Secara umum kondisi mereka memproyeksikan sebuah gambaran bahwa pengguna napza suntik tidak dapat mengembangkan dirinya secara maksimal. Kebanyakan diantara mereka masih disibukan dengan masalah yang sangat mendasar, yaitu kecanduan terhadap Napza. Dalam kasus ini, kita dapat melihat bagaimana pendekatan praktis dan pragmatis tidak mampu menjawab kebutuhan untuk meningkatkan kualitas hidup bagi para pengguna Napza secara berkelanjutan.

Selama ini tampaknya Negara juga hanya melihat penguna Napza sebagai penerima vonis untuk menjalani hukuman di penjara. Selanjutnya apa yang pengguna Napza dapatkan? Kebanyakan diantara mereka kemudian dipaksa untuk bertahan di tengah rimba penjara yang sangat keras. Tidak heran apabila kondisi di dalam penjara juga kerap membuat kecanduan pengguna Napza semakin parah, karena di dalam penjara kebanyakan pengguna juga masih bisa mendapatkan Narkoba. Hal semacam ini dapat dikatakan merupakan dampak dari kebijakan praktis dan pragmatis yang cenderung mengkriminalkan pengguna Napza dan sekedar ditujukan untuk membuat efek jera bagi sebagian kalangan pengguna Napza. Menjebloskan pengguna Napza ke dalam penjara sebagai solusi untuk membuat mereka pulih jelas merupakan pilihan yang sia-sia.

Kecanduan Napza adalah sebuah penyakit progresif yang berdampak secara fisik, psikis, sosial dan spiritual. Namun pada suatu titik tertentu, penyakit ini dapat disembuhkan melalui intervensi yang efektif. Hal ini misalkan diperkuat oleh argumentasi World Health Organization (WHO), yang menyebutkan bahwa ketergantungan Narkoba merupakan sebuah penyakit atau “disease entitiy”. Dalam International classification of diseases and health related problem-tenth revision, 1992 (ICD-10), kecanduan Napza digolongkan dalam “Mental and Behavioral disorders due psychoactive substance abuse ”.

Satu contoh lagi yang terkait dengan permasalahan Narkoba dan HIV-AIDS adalah Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA). Di Indonesia, saat ini ODHA telah mendapat kemudahan dalam mengakses layanan kesehatan. Beberapa waktu yang silam layanan kesehatan bagi ODHA adalah fasilitas yang cukup mahal, karena stigma dan diskriminasi yang cukup tinggi. Obat-obatan untuk HIV, yang salah satunya adalah obat Antiretroviral (ARV) saat ini juga dapat dibagikan secara gratis. Meskipun begitu, kita tidak pernah tahu bagaimana pemerintah mendapatkan anggaran untuk membuat ARV menjadi gratis.

Berdasarkan sebuah penelusuran, ternyata ARV gratis adalah salah satu program pemerintah Republik Indonesia yang dikembangkan oleh Departemen Kesehatan RI. Dari 60% keseluruhan anggaran untuk program ini (sekitar US$ 8.938.042,-), sumber dananya berasal dari negara-negara G-8 melalui program bantuan luar negeri yang bernama “Global Fund for AIDS, TB, and Malaria (GF-ATM/ Proposal Round 8, Republic Indonesia). Saat ini obat ARV tersedia diseluruh Rumah Sakit rujukan HIV/AIDS yang kurang lebih terdiri dari sekitar 148 Rumah Sakit yang tersebar di 22 provinsi. Dasar pemberian obat ARV adalah Keputusan Presiden no. 83/ tahun 2004 yang diperbaharui dengan Keputusan Presiden no. 6/ tahun 2007 tentang Palaksanaan Paten obat-obatan Antiretroviral oleh Pemerintah, serta Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 1190/Menkes/SK/X/2004 tentang Pemberian Gratis obat Tuberkulosis dan Antiretroviral untuk HIV/AIDS. Dalam konteks ini, ketergantungan anggaran sebesar 60% terhadap sumber dana asing merupakan salah satu persoalan yang harus dicarikan jalan keluarnya.

Kembali pada wacana pendekatan praktis dan pragmatis yang dikembangkan oleh Negara dan penggiat pekerja sosial, dalam hal ini tampaknya kesadaran ODHA untuk memberdayakan dan meningkatkan kualitas hidup mereka telah terkooptasi oleh program-program yang dikembangkan secara instan. Kebanyakan dari program semacam ini tidak mampu menjawab permasalahan secara akurat dan tidak memiliki aspek keberlanjutan (sustainability). Kebutuhan untuk mencari solusi yang komprehensif merupakan sebuah pekerjaan rumah yang akan berlanjut entah sampai kapan. Dalam hal ini barangkali hanya waktu yang akan menjawab. Terapi ARV hanya langkah awal dari banyak agenda yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas hidup ODHA.

Stigma dan diskriminasi bagi Orang Dengan HIV/AIDS tidak hanya dapat dihilangkan dengan program pembagian obat ARV secara gratis saja. Dalam hal ini, stigma dan diskriminasi juga menyangkut masalah psikis dan struktur sosial masyarakat. Oleh karena itu, dibutuhkan ide atau program yang dapat memproyeksikan keselarasan pikiran yang logis serta hati nurani yang mencerminkan empati terhadap pemenuhan kebutuhan mendasar bagi ODHA. Dalam hal ini, persepsi terhadap Orang Dengan HIV-AIDS harus tampil secara manusiawi dan menghargai eksistensi ODHA sebagai salah satu bagian dari kelompok masyarakat yang ikut memberikan dampak bagi pola penanggulangan HIV-AIDS dan Napza.

Dengan tulisan ini, penulis bermaksud memberikan sebuah proyeksi dan refleksi penanggulangan Narkoba dan HIV-AIDS di Indonesia selama kurun waktu 10 tahun belakangan. Pendekatan praktis dan pragmatis yang selama ini dianggap sebagai alat yang “super ajaib” untuk memecahkan masalah HIV-AIDS dan Napza di Indonesia hanya menyelesaikan masalah di level permukaan saja tanpa dapat menyentuh akar dari persoalannya. Suatu saat pendekatan semacam ini akan menjadi bumerang bagi pihak-pihak terkait seperti Pemerintah, LSM, pengguna napza dan Orang Dengan HIV/AIDS. Dapat dikatakan bahwa kita telah mengalami masa “euphoria” dampak sesaat dari solusi praktis dan pragmatis yang telah dikembangkan selama ini. Sedikit demi sedikit efek bumerang yang ditakutkan saat ini mulai terlihat. Tanda-tandanya adalah penjara yang sudah melebihi kapasitas, ARV yang keberadaannya tidak jelas dan timbul tenggelam, selain kebingungan Pengguna napza suntik yang semakin merasa memiliki kesulitan untuk bertahan hidup di era yang penuh dengan persaingan yang cenderung menggila.

Dalam hal ini pihak terkait seperti pemerintah, ilmuwan, akademisi, pekerja sosial, serta semua komponen masyarakat yang terlibat langsung ataupun tidak langsung dalam penanggulangan Napza maupun HIV/AIDS diharapkan dapat mengembangkan ide atau program intervensi untuk menyelesaikan masalah ini secara bersama-sama. Penanggulangan Napza maupun HIV/AIDS idealnya dilakukan agar dapat menyelesaikan masalah secara utuh dan mendalam, sehingga upaya peningkatan kualitas hidup bagi orang-orang yang terpinggirkan secara sosial dapat menjadi sebuah keniscayaan. Hal ini mungkin dapat terwujud apabila para pihak terkait dapat memainkan dan menyadari peran mereka secara maksimal. Selain itu, tampaknya kita juga membutuhkan integritas, kesadaran logis, serta hati nurani yang mencerminkan empati akan pemenuhan kebutuhan mendasar bagi ODHA. HIV/AIDS dan Napza bukan masalah sekelompok kecil masyarakat saja, tetapi masalah kita semua karena bukan tidak mungkin saat ini salah satu anggota keluarga kita telah menjadi korbannya.

* Ginan Koesmayadi adalah salah seorang pendiri Rumah Cemara, sebuah organisasi nirlaba yang aktif mengupayakan peningkatan kualitas hidup yang lebih baik bagi orang dengan HIV/AIDS dan pengguna narkoba di Indonesia. Informasi mengenai kegiatan Rumah Cemara dapat diakses di http://www.rumahcemara.org/.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *