Articles

Yang Lian: Puisi adalah Kampung Halaman Saya | Oleh Luky Setyarini*

Ketika Revolusi Budaya dilancarkan di Cina antara 1966-1976, ada sekelompok penyair yang karena gaya puisinya yang sulit dipahami, seperti berkabut, disebut sebagai Misty Poets. Salah satu dari para penyair kritis yang aktif menulis di majalah Jintian (Today) itu adalah Yang Lian.

Lahir di Swiss pada 1955, ayah Yang seorang diplomat. Ketika keluarganya pulang kampung, Yang muda dikirim ke pedesaan Changping dekat Beijing, untuk mengikuti program reedukasi. Seorang putra diplomat yang berpendidikan tinggi memang diwajibkan belajar dari petani. Metode ini digunakan di masa Mao Zedong pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Selama tinggal di pedesaan, Yang mulai menulis puisi.

Sekembalinya ke Beijing, Yang bekerja di stasiun pemancar radio pemerintah. Pada 1979, Yang bergabung dengan kelompok penyair yang menulis untuk Jintian. Gaya puisi pria berusia 54 tahun ini berubah menjadi modern, eksperimental, yang jamak dipraktekkan para penyair Misty Poets. Pada 1983, karyanya berjudul Norlang (nama suatu air terjun di Tibet) membuat gusar pemerintah Cina. Surat penangkapan untuk Yang dikeluarkan, namun Yang berhasil lolos.

Ketika militer Cina menumpas demonstrasi di Lapangan Tiananmen dengan kekerasan –dikenal sebagai Peristiwa 4 Juni 1989 — Yang berada di Selandia Baru dan ikut menggelar aksi protes terhadap kekerasan oleh pemerintah Cina. Karya-karyanya kemudian dilarang beredar di Cina, termasuk dua calon buku yang akan diterbitkan waktu itu. Tak lama kemudian, kewarganegaraannya pun dicabut dan dia memohon suaka di Selandia Baru. Pada 2008, dia terpilih sebagai salah satu anggota Dewan PEN Internasional, perhimpunan penyair, esais, dan novelis. Sejak 1993, dia bermukim di London.

Pada pertengahan Oktober lalu, Yang hadir di Pameran Buku Frankfurt. Reporter Tempo Luky Setyarini berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.

Kenapa Anda hadir di pameran ini?
Titik perhatian dari pameran ini adalah seluruhnya mengenai Cina, tentang sastranya, politiknya. Dalam hal ini, membawa Cina menjadi fokus masyarakat internasional. Karena itu, diskusinya mengenai apa pun, politiknya, atau sastra, linguistik. Saya pikir ini sangat penting bagi pernyataan mengenai perubahan Cina dari versi lama era Perang Dingin hingga bergerak menjadi — yang saya harap — sedikit menjadi versi baru. Makanya saya tertarik untuk datang.

Pemerintah Cina juga hadir. Anda tidak merasa khawatir, takut, atau terancam dengan melontarkan pendapat Anda?
Tidak. Saya memang sudah beberapa kali ke Cina. Namun setelah peristiwa Tiananmen saya tidak pernah kembali menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Pertama kali saya kembali ke Cina pada 1995, ketika saya mengganti kewarganegaraan Selandia Baru. Cina menjadi negara asing bagi saya, tapi saya menulis dalam bahasa ibu. Saya tidak mengakui badan politiknya, tapi saya mengakui bahasa dan tradisinya. Ya, saya tahu mereka di sini. Lalu mengapa? Mereka ada di mana saja.

Cina saat ini ibarat memiliki wajah ganda. Satu wajah kapitalis, satu lagi komunis. Menurut Anda?
Istilah yang tepat adalah Cina merupakan komunis terburuk dan kapitalis terburuk. Inilah yang paling tepat untuk menggambarkan Cina, karena saya dapat kembali ke Cina dan melihat Cina dari dalam, sejauh ini. Ada beberapa bagian, seperti menteri propaganda, yang menjadi mitra langsung penyelenggara Pameran Buku Frankfurt. Mereka adalah bagian dari Cina dan pemerintah Cina yang paling, paling buruk. Mereka tidak membawa tanggung jawab yang nyata ke dunia nyata. Mereka hanya bertanggung jawab supaya mesin ideologi tetap berfungsi, bertanggung jawab hanya terhadap pemimpin mereka, dan tidak terhadap rakyat.

Banyak penulis dan seniman Cina dipenjara karena pemikiran vokal dan bebas mereka. Bagaimana menurut Anda?
Memang, sayang sekali. Sekali lagi, secara linguistik, ini merupakan bagian terburuk dari yang terburuk dari Cina, yaitu sensor tegas terhadap pendapat dan pemikiran bebas, dan mereka sangat takut terhadap kata-kata. Di titik ini, tidak disangkal lagi, kita harus berjuang demi pembebasan para penulis itu. Kita harus berbicara untuk mereka, kita harus berjuang sebisa mungkin untuk mereka. Makanya, ketika tahun lalu saya dipilih menjadi anggota Dewan PEN Internasional, saya juga mendorong perubahan di lapisan lain, tapi fokusnya terutama pada para penulis yang ditahan. Kami mempublikasikan daftar penulis yang berada di penjara ke hadapan internasional. Ini merupakan hal yang menyedihkan.

Anda kan dapat mengunjungi Cina. Bisa diceritakan bagaimana situasi kesusastraannya saat ini?
Inilah masalah terbesarnya. Karena kontrol politik dan sensor di satu sisi, dan pasar yang sangat besar di sisi lain, para penulis yang sebenarnya pemikir independen ditekan dari dua sisi, kekuasaan dan uang.

Jadi, ada dua kemungkinan. Pertama, penulis menjadi seseorang yang punya pemikiran kuat, memiliki pemahaman yang jernih mengenai dirinya, tulisan apa yang ingin dibuat, makanya peganglah prinsip itu, jangan peduli akan dipublikasikan atau tidak, penulis itu akan menjelma dengan jiwa tradisi klasik yang luar biasa dan menjadi penulis besar internasional.

Tapi, sayangnya, hanya sedikit penulis Cina yang ingin melakukannya. Sebagian besar lebih suka menjadi pemain, terikat pada pohon sensor, tapi bergegas ke pihak komersial dan menulis hal seperti makanan instan, seperti McDonald’s. Karena mereka ingin menulis hari ini, menjualnya besok, dan mendapat banyak uang besok lusanya. Dalam kasus ini, pasar bukanlah pasar yang sebenarnya. Ini sebenarnya pasar yang tidak sehat dengan kontrol ideologi.

Saya sudah membaca puisi Anda dan saya pikir karya Anda tidak ’berbahaya’. Apakah puisi Anda masih dilarang diterbitkan di Cina?
Puisi punya gerakan yang menarik. Kami untungnya menulis puisi yang tak mudah dipahami. Sejak kami mulai menulis, sejak kami meninggalkan dunia yang besar dan palsu seperti sosialisme, kapitalisme, kami menggunakan bahasa yang murni dan klasik, serta menggunakan matahari, bulan, air, kegelapan, kehidupan, ajal. Makanya, puisi-puisi kami disebut misty poems atau puisi yang diselubungi kabut. Karena, itu tadi, puisi kami tidak mudah dipahami, dan diasosiasikan dengan slogan politik.

Jadi, puisi-puisi kami tak hanya bercerita mengenai perlawanan terhadap propaganda politik, tapi juga menunjukkan hasrat puitis, melalui bahasa, juga mempertanyakan diri sendiri sedalam mungkin. Makanya tidak hanya mengenai hitam dan putih, tapi penuh dengan kompleksitas, kekayaan, perasaan diri yang kontradiktif, tapi pada akhirnya bentuk yang kreatif.

Pada dasawarsa 1980-an, ketika gerakan politik dibungkam, karya saya dilarang, lalu ketika demonstrasi Tiananmenn dirusak, buku-buku dimusnahkan. Itu bukan karena mereka memahami puisi saya. Mereka melarang karya saya, bukan karena puisinya, tapi mereka ingin menghancurkan saya. Jadi, sebetulnya, sang penyairlah alasannya. Jadi, puisi mati mengatasnamakan penyairnya.

Sekarang, ketika seluruh Cina menjadi komersial, masalahnya bukan lagi sensor dan melarang puisi karena politis. Puisi itu sendiri disensor secara komersial, alasan komersial. Para penerbit hampir begitu saja berhenti mencetak puisi apa pun. Karena tidak menjual. Karena itu bukanlah bisnis budaya, melainkan sekedar bisnis. Mereka tidak peduli pada gelombang budaya. Sangat menyedihkan bagi Cina, negara yang memiliki tradisi besar dalam puisi klasik. Tapi saya tetap melanjutkan menulis puisi. Tak peduli apa mereka mau menerbitkannya atau tidak, atau mereka bilang bagus atau tidak. Saya pikir, puisi itu sangat penting bagi saya sendiri.

Anda tinggal di London, Anda juga berkeliling dunia. Apakah Anda merasa bagian dari masyarakat penulis dan seniman dunia?
London adalah tempat pertemuan yang besar. Bukan karena begitu banyaknya komunitas, tapi sebenarnya karena kedalaman, sejarah, dan tradisi Inggris Raya itu sendiri sebagai lapangan pemikiran terbuka. Namun saya tidak menempatkan diri saya dalam panggung besar itu. Saya juga menciptakan London versi sendiri. Buku yang Anda miliki, Lee Valley Poems, adalah puisi-puisi London versi saya. Ini bukanlah puisipuisi London, tapi puisi-puisi London kepunyaan Yang Lian. Lee Valley adalah lembah dekat rumah saya di London, tempat saya jalan-jalan.

Apakah dengan begitu, London menjadi kampung halaman Anda? Atau masihkah Cina menjadi kampung halaman Anda? Ataukah dunia adalah tanah air Anda?
Puisi adalah kampung halaman saya. Itulah yang selalu saya gapai melalui pemikiran kaya saya. Itu tidak dibatasi oleh batas negara, abadi dan tanpa batas.

*Seperti yang dimuat di Majalah Tempo Edisi 15 November 2009

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *