General, Program

[Pameran Fotografi] Pause/ Urban Decay oleh Sandi Jaya Saputra | 19 November s/d 4 Desember 2011

[Pameran Fotografi] Pause/Urban Decay oleh Sandi Jaya Saputra
19 November s/d 4 Desember 2011, Pk. 10.00 – 17.00 WIB
Pembukaan: Sabtu, 19 November 2011, Pk. 18.00 – 21.00 WIB
Artist Talk: Jumat, 25 November 2011, Pk. 15.00 – 18.00 WIB | Moderator: Gustaff H. Iskandar
Tempat: Common Room, Jl. Kyai Gede Utama no. 8, Bandung

Pause/Urban Decay: Sebuah Jeda di Keramaian Kota
Oleh Gustaff H. Iskandar

Sandi Jaya Saputra adalah seorang fotografer yang dilahirkan di kota Garut pada tahun 1985. Pada tahun 2006 ia mengenyam pendidikan di jurusan periklanan Universitas Padjadjaran Bandung. Setelahnya ia melanjutkan studi di bidang jurnalisme pada universitas yang sama dan lulus pada tahun 2010. Karirnya dibidang fotografi dimulai ketika ia bekerja untuk majalah Greeners sejak tahun 2008 s/d 2010. Pada tahun 2009, ia mendapatkan beasiswa untuk belajar fotografi di Commune Illuminaty (Bandung) dan workshop fotografi di Angkor Wat (Kamboja) di bawah bimbingan Antoine D’Agata (Magnum Agency). Baru-baru ini ia mendapatkan beasiswa untuk mengambil program diploma jurnalisme fotografi di Ateneo de Manila University (Filipina).

Saat ini Sandi Jaya Saputra bekerja menjadi seorang fotografer lepasan sekaligus bekerja sebagai asisten laboratorium fotografi dan staff mata kuliah fotografi di almamaternya. Sehari-hari ia kerap mengambil berbagai foto tentang pemandangan kota. Beberapa ada yang dipamerkan, sementara yang lain disimpan sebagai dokumentasi yang merekam kehidupan pribadinya. Koleksi foto yang ia tampilkan di dalam pameran ini diambil tepat pada saat perayaan hari raya Idul Fitri di tahun 2009. Dalam kumpulan foto ini, ia seakan mengajak kita untuk melihat pemandangan kota Bandung yang lenggang dan sepi. Tidak ada aktifitas manusia dan hiruk-pikuk kesibukan kota di dalam foto-foto ini. Tidak ada suara bising dan kondisi kota yang semrawut. Tidak ada suasana kota yang selama ini kita kenal secara akrab, kecuali ruas jalan, gedung-gedung, serta pojokan ruang kota yang kosong melompong.

Sejak secara resmi berdiri sekitar 200 tahun yang lalu, kota Bandung telah menjadi saksi dari berbagai peristiwa kehidupan manusia lengkap dengan segala detail persoalannya. Di masa keemasannya kota Bandung adalah sebuah permata yang memiliki segudang predikat menawan karena kesuburan serta keindahan pemandangan alamnya. Diantara sebutan yang paling populer adalah Bloemen van the Stad dan Parijs van Java. Dalam catatan Haryoto Kunto, kota ini pertama kali dinobatkan menjadi kota terbuka pada 21 Februari 1906 oleh Gubernur Jendral J.B. van Heutz. Selanjutnya kota ini sempat disebut sebagai pusat dunia intelektual di wilayah Hindia Belanda, serta pernah diusulkan menjadi pusat koloni orang Eropa di tanah Jawa oleh seorang pemikir Belanda bernama Ir. R. van Hoevell. Atas dasar ini, kiranya tidaklah mengherankan apabila sejak dahulu kota Bandung dikenal sebagai pusat bagi aktifitas perkebunan, perdagangan, pendidikan dan pariwisata. Namun kini kita harus mafhum bahwa catatan ini barangkali hanya sebagian dari narasi yang mungkin tidak lagi menggambarkan kondisi kota Bandung secara utuh. Kota ini tengah meluruh dimakan waktu, ditengah obsesi untuk menjadi mesin ekonomi yang kian menderu.

Karya foto Sandy Jaya Saputra dapat dilihat sebagai sebuah jeda yang memungkinkan kita untuk berhenti sejenak dan memandang kota dalam keadaan diam. Karyanya sekaligus mengajak kita untuk menelusuri kembali jejak yang ditinggalkan oleh jutaan manusia yang hidup didalamnya. Pada foto-foto ini kita juga dapat menemukan cermin yang mengguratkan narasi dan spiritualitas kehidupan masyarakat kota yang sedemikian kompleks dan memiliki lapisan dimensi yang tak bertepi. Wajah kota yang terekam dalam kumpulan foto ini merupakan pemandangan yang berkelindan diantara kemegahan narasi masa lalu dan kompleksitas persoalan hari ini. Alhasil kita menemukan sebuah pemandangan kota yang ambivalen dan penuh dengan kontradiksi. Di sana ada keindahan sekaligus teror yang mengerikan. Di sana juga ada keintiman yang dapat menjelma menjadi sebuah keterasingan yang menyakitkan. Kiranya foto-foto ini adalah sebentuk puisi yang memungkinkan kita untuk mengambil jarak dari kenyataan yang kian hari semakin meringkus perasaan dan imajinasi. Selain itu, kumpulan foto ini barangkali adalah reaksi balik dari dunia pengalaman yang memproyeksikan kritik dan refleksi untuk merajut makna tentang kehidupan masyarakat kota di sini dan hari ini, hic et nunc.

Kyai Gede Utama, 4 November 2011

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *