Program

Belajar Mendengar Guaran Kujang

common room

Siang itu suasana agak mendung. Awan menggumpal pertanda sebentar lagi hujan deras akan turun. Sesekali terdengar suara petir di kejauhan. Namun begitu, kesibukan tetap terlihat di Common Room pada hari Jumat, 20 November 2009. Beberapa teman bahkan sudah terlihat sibuk sejak pagi hari. Pada sekitar jam 12 siang kesibukan bertambah ketika Budi Dalton datang bersama kawan-kawan dengan membawa beberapa wadah yang berisi Kujang. Seperti yang telah direncanakan selama beberapa waktu terakhir, hari ini Kelompok Kajian Ilmu Pengetahuan Kebudayaan Lokal yang dipimpin oleh Dadang “Utun” Hermawan akan menyelenggarakan program Guaran Kujang: Diskusi dan Presentasi Kujang yang menghadirkan Budi Setiawan Garda Pandawa aka Budi Dalton kelahiran Bandung, 16 Oktober 1971 sebagai narasumber utama.

common room

Satu persatu koleksi Kujang yang dikumpulkan oleh Budi Dalton selama beberapa tahun terakhir dikeluarkan. Kurang lebih ada sekitar 200 Kujang yang terdiri dari sekitar 28 jenis dan kabarnya dibuat pada sekitar abad ke-3 sampai abad ke-15 masehi. Kebanyakan merupakan titipan orang tua, hasil pencarian, mahar, ataupun pemberian untuk kepentingan penelitian. Dalam kegiatan ini, hanya sebagian kecil saja Kujang yang dipamerkan mengingat kapasitas ruang yang sangat terbatas. Namun begitu, keberadaan sebagian koleksi Kujang ini tetap saja menarik perhatian teman-teman yang mulai berdatangan pada sekitar pukul 3 sore. Pada informasi yang disebarkan oleh panitia, kegiatan ini merupakan peluncuran program Kajian Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan Lokal yang akan diselenggarakan secara rutin di Common Room dan merupakan bagian dari kegiatan Helar Festival 2009.

Dibuka oleh pertunjukan Tarawangsa yang menghadirkan Ki Buyung, kegiatan ini kemudian langsung dibuka oleh Kang Aat Suratin pada sekitar pukul 4 sore. Para peserta diskusi yang berasal dari latar belakang dan umur yang beragam terlihat sangat antusias. Kang Aat memberikan sambutan pembuka dengan menyatakan bahwa kegiatan diskusi semacam ini sebetulnya merupakan bagian dari semangat untuk mengeksplorasi ke-Indonesiaan kita yang sedari awal memang terdiri dari beragam bahasa, budaya, tradisi dan kelompok etnis yang secara merata tersebar di wilayah Nusantara. Oleh karena itu, idealnya diskusi mengenai Kujang tidak mengarah pada semangat ataupun eksistensi etnis tertentu, melainkan membangun nilai-nilai lokal yang mampu bersanding dengan barbagai pandangan yang bersifat universal untuk membangun harmoni kehidupan bersama yang lebih baik. Hal ini terutama dimaksudkan agar berbagai nilai-nilai dan pengetahuan lokal yang bersumber dari peninggalan dan peradaban masyarakat Sunda dapat memberikan kontribusi dalam proses menjadi bangsa Indonesia yang merupakan bagian utuh dari peradaban dunia.

Photobucket

Selanjutnya Budi Dalton langsung memaparkan presentasinya secara panjang lebar. Selama ini Kujang identik dengan identitas dan eksistensi kebudayaan masyarakat Sunda (Anis Djatisunda). Dalam berbagai arsip dokumentasi dan kajian akademis, Kujang digambarkan sebagai senjata (DJAMADIL, A.A. dkk), selain juga memiliki kekuatan supranatural (Mr. Moebirman) dan merupakan lambang ataupun simbol dari sebuah konsep ajaran Sunda Besar (Aris Kurniawan Joedamanggala). Khusus untuk kegiatan ini, Budi Dalton mempresentasikan beberapa hasil penelitian yang terkait dengan keberadaan Kujang, terutama beberapa aspek yang terkait dengan asal usul penamaan “Kujang” sebagai nilai filosofis ajaran/ ageman Ketuhanan tentang asal usul alam semesta yang dijadikan dasar Nagara Karta Gama. Selain itu, dalam kesempatan ini Budi Dalton juga membahas beberapa aspek yang terkait dengan bentuk Kujang yang merupakan manifestasi wujud manusia sebagai sebuah penciptaan yang sempurna; serta wujud Kujang yang merupakan manifestasi Alam Semesta yang dituliskan dalam Huruf Adjisaka Purwawisesa dengan bahasa Sang Saka Kreta (Sanskrit) yang menggunakan huruf “Pa La Wa”.

Menurut Budi Dalton, Kujang bukan hanya merupakan senjata yang identik dengan keberadaan ataupun eksistensi masyarakat dan peradaban Sunda Besar. Dalam setiap wujud Kujang, terkandung berbagai bentuk gagasan filosofis, termasuk gagasan yang terkait dengan jati diri orang Sunda. Kujang yang berasal dari bahasa Sanskrit juga memiliki relasi yang erat dengan keberadaan Sang Hyang Tjakra, sehingga kurang lebih memiliki pengertian yang bermakna sebagai sabda alam. Hal ini setidaknya membuat eksistensi Kujang sebagai manifestasi dari alam semesta bukan hanya sekedar senjata dan pusaka yang dihasilkan oleh peradaban Sunda Besar, namun juga senjata yang mengandung nilai-nilai dan filosofi kehidupan yang universal. Secara mendetail Budi Dalton juga menjelaskan beberapa jenis Kujang, semisal Kujang Ciung yang digunakan sebagai lambang Pemprov Jawa Barat, Kujang Naga, Kujang Bango, Kujang Badak, Kujang Daun, Kujang Sajen, Kujang Wayang, Kijang Badik, Kujang Lanang, Kujang Balati, dan lain sebagainya. Secara simultan para peserta kemudian mendapatkan penjelasan mengenai Kujang yang terkait dengan berbagai cabang ilmu sejarah, tata negara, simbolisme, kehidupan sosial, metalurgi, dan beberapa aspek yang terkait dengan nilai-nilai dan spiritualitas masyarakat Sunda Besar.

common room

Kurang lebih selama 1 jam Budi Dalton memberikan penjelasan secara mendetail ditengah hujan deras dan gemuruh petir. Namun begitu, antusiasme peserta tidak surut sedikitpun. Setelah memaparkan presentasinya, satu per satu peserta memberikan tanggapan dan pertanyaan, yang sebagain besar memberikan apresiasi yang positif atas kegiatan penelitian yang dilakukan oleh Budi Dalton. Melalui kegiatan ini, setidaknya berbagai kekhawatiran yang menyebutkan bahwa saat ini kebanyakan anak muda sudah tidak lagi memperhatikan dan memiliki minat untuk mengapresiasi nilai-nilai tradisi dan peninggalan budaya tidak sepenuhnya benar. Tidak sedikit peserta yang juga berharap kalau kegiatan penelitian dan diskusi seperti ini terus berlanjut untuk mendorong terjadinya mekanisme produksi dan penyebaran ilmu pengetahuan yang diharapkan dapat membawa manfaat bagi masyarakat luas. Mengutip uraian yang disampaikan oleh Budi Dalton, bahwa kegiatan ini merupakan upaya untuk mempelajari alam semesta beserta isinya yang dikenal sebagai “Hurup” atau wujud bentuk (fisik) yang juga mempunyai “Hurip” (wujud non fisik), yang semuanya berada dalam suatu kesatuan wadah yang hidup atau “Hirup”.

Lebih lanjut melalui kegiatan Guaran Kujang, hampir semua peserta sepakat bahwa kegiatan kajian dan penelitian mengenai Kujang ataupun berbagai aspek yang terkait dengan nilai-nilai tradisi dan peninggalan budaya harus terus dilakukan. Hal ini setidaknya dapat menjadi alternatif bagi eksplorasi sumber pengetahuan yang terkait dengan nilai-nilai lokal sebagai salah satu upaya untuk bernegosiasi dan mengkonstruksi nilai-nilai global. Selain itu, diskusi semacam ini juga dapat menjadi bagian dari upaya untuk menyusun genealogi dan taksonomi pengetahuan yang lebih lanjut dapat dimanfaatkan untuk menyelamatkan eksistensi dan identitas masyarakat yang senantiasa menghadapi arus perubahan dan selalu berhadapan dengan berbagai persoalan. Namun begitu, dalam upaya untuk mengekplorasi nilai-nilai dan pengetahuan lokal, perlu juga diwaspadai berbagai bentuk pandangan yang dapat memicu terjadinya konflik, terutama ketika kita berhadapan dengan kenyataan bahwa selalu ada upaya dominasi dan hegemoni pengaruh, baik yang diwakili oleh kepentingan politik tertentu, simbol-simbol dan spirit sektarian ataupun sikap chauvinisme dan primordialisme yang sempit. Oleh karena itu, upaya-upaya semacam ini idealnya selalu dibarengi dengan semangat keterbukaan dan toleransi yang mengesampingkan perbedaan dan diskriminasi, selain juga semangat untuk mengembangkan nilai-nilai dan pengetahuan lokal sebagai bagian yang integral dengan sistem pengetahuan dari peradaban dunia yang lebih harmonis.

Related Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *